Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Brandes dan Ironi Kolonialisme

29 Januari 2023   20:03 Diperbarui: 29 Januari 2023   20:06 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bung Karno pernah mengingatkan bahwa salah satu cara agar Imperialisme tetap menancap kuat di tanah jajahannya adalah dengan berusaha menanamkan mentalitas inferior atau mentalitas minder di kalangan rakyat yang dikuasainya. Tujuannya: agar rakyat yang dijajah tersebut kehilangan kepercayaan diri untuk mengalahkan dan mengenyahkan penjajah. Mentalitas kalah dan menyerah pada penjajah  sebelum bertanding ini biasanya diperkuat dengan literasi masa lalu yang kalah dan tak berdaya. Imperialisme akan menghilangkan sejarah baik rakyat jajahannya dengan menyodorkan kisah bahwa bangsanya di masa lalu memang tak pernah punya kesanggupan menghadapi kekuatan asing: terpecah belah, bodoh, korup sehingga untuk bangkit memerlukan uluran tangan-tangan asing sebagaimana syair seorang penyair yang dikutip  Professor Veth dalam risalah Mentjapai Indonesia Merdeka Bung Karno:

"Dipantainja tanah Djawa rakjat berdesak-desakan;

Datang selalu tuan-tuannja setiap masa;

Mereka beruntun-runtun sebagai runtunan awan;

Tapi anak-pribumi sendiri ta'pernah kuasa."

Dalam kerangka ini penjajah perlu menguasai  sistem pengetahuan dan sejarah bangsa yang (hendak) dikuasainya agar penjajahan tersebut berlangsung langgeng. Dengan pengetahuan tersebut penjajah bisa terus menerus menyesuaikan diri dan selalu dianggap sebagai dewa penolong oleh negeri yang dijajahnya.

Jan Laurens Andries Brandes yang diperintahkan pemerintah kolonial Belanda untuk mempelajari sejarah Jawa kuno  tentu saja dalam kerangka ini. Tetapi apa yang dihasilkan dari kerja dan studi yang tekun Brandes ternyata tidak selalu menguntungkan penjajah. Sebaliknya, justru kaum pergerakan nasional bisa memetik buah kerja tekun Brandes yang menghadirkan dan mengantarkan rakyat Indonesia untuk semakin memahami kedigdayaannya di masa lalu dengan temuan kisahnya tentang Singhasari-Majapahit melalui naskah Pararaton dan Nagarakretagama. Pemahaman yang mendalam mengenai kisah kejayaan Singhasari-Majapahit oleh kaum pergerakan nasional semakin meyakinkan dan memantabkan langkah untuk merdeka karena kini mengalahkan penjajah hanyalah soal waktu sebagaimana dalam masa lalunya pun pernah mengalahkan bangsa penjajah yang paling ditakuti di dunia yaitu imperium Mongol.

Bayangkan! Sebelum George Coedes menuliskan kisahnya tentang Sriwijaya di tahun 1918, hampir dipastikan bahwa kaum pergerakan nasional pun tak memiliki bayangan seperti apakah kerajaan laut Sriwijaya yang pernah menguasai lautan dunia sehingga mempunyai cita-cita untuk membangunkan kelak Indonesia yang merdeka sebagai poros maritim dunia. Begitulah juga kaum pergerakan nasional tak memiliki bayangan negara tangguh Majapahit yang menyatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke sebelum Brandes memulai kisahnya tentang Ken Arok melalui Pararaton (1896, Pararaton (Ken Arok) of het boek der koningen van Tumapel en van Majapahit) dan nantinya semakin membuka jalan bagi kejelasan Kerajaan Singhasari-Majapahit melalui Nagarakretagama.

Perlu diketahui, pada akhir abad Sembilan belas, Babad Tanah Jawi merupakan bacaan umum tentang sejarah Jawa. Brandes  pun semula  tekun mempelajari Babad Tanah Jawi tetapi begitu menemukan Pararaton, Babad Tanah Jawi pun ditinggalkan karena naskah Pararaton lebih banyak sesuai dengan prasasti-prasasti yang ada. Berkaitan dengan Babad Tanah Jawi itu, Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul: Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit menulis: "Suatu peristiwa yang agak menyolok ialah bahwa sejarah Singasari dan sejarah Majapahit itu dalam abad ketujuh belas boleh dikatakan telah musnah dari ingatan masyarakat Jawa...Sebagai bukti ialah uraian Babad Tanah Jawi dan serat serat babad lainnya yang sama sekali menyimpang dari uraian Nagarakretagama dan Pararaton. Adanya Kerajaan Singasari sebagai pendahulu Kerajaan Majapahit dalam Babad Tanah Jawi sudah sama sekali dilupakan karena penggubah Babad Tanah Jawi menghubungkan pendiri Kerajaan Majapahit dengan  Jaka Sesuruh dari Kerajaan Pajajaran, alih-alih dengan Dyah Wijaya dari  Kerajaan Singasari...yang candi makamnya masih dapat disaksikan di Jawa Timur...Dengan sendirinya uraian Babad Tanah Jawi tentang Majapahit itu merupakan dongengan belaka. Celakanya dongengan itu lalu dianggap sebagai fakta sejarah dalam masyarakat Jawa."

Entah mengapa Brandes yang kemudian juga menemukan naskah Nagarakretagama di kancah Perang Lombok tahun 1894 itu tak juga bersegera menerbitkannya padahal nilai historis Nagarakretagama lebih tinggi daripada Pararaton. Sementara itu,  menurut Slamet Mulyana dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, H Kern setelah melihat teks Nagarakretagama terbitan Brandes, pada tahun 1903 segera menulis makalah berjudul De Nagarakretagama, Oud-Javaansch Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Majapahit, dalam Indische Gids, untuk menarik perhatian pembaca kepada naskah tersebut. Namun tidak ada niat padanya untuk menerbitkan teks tersebut beserta terjemahannya secara lengkap. Mungkin ada pertimbangan bahwa hal itu akan dilakukan oleh Brandes sendiri. Kenyataannya ialah sampai ajalnya tanggal 26 Juni 1905 di Batavia, tidak pernah muncul terbitan Nagarakretagama dari tangan Brandes.

Dilahirkan di Rotterdam, Belanda, 13 Januari 1857, Brandes meninggal dalam usia muda, 48 tahun di saat masih menjabat sebagai Ketua Komisi Hindia Belanda untuk Penelitian Arkeologi di Jawa dan Madura. Walau begitu Brandes diakui sebagai perintis yang membuka cakrawala rakyat Indonesia untuk memahami masa lalu yang jaya melalui kisah Singhasari dan Majapahit. Begitulah Bung Karno pun menganggap Majapahit sebagai negara nasional kedua setelah Sriwijaya yang luas geografinya seharusnya diwarisi oleh negara nasional ketiga Indonesia yang hendak didirikan di atas reruntuhan negara kolonial Hindia Belanda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun