Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Trend blunder komunikasi politik pejabat tinggi negara semakin menjadi-jadi. Dari pusat hingga daerah, dari menteri sampai bupati, ucapan mereka kerap menyinggung nalar dan hati nurani rakyat.Â
Tak jarang, ucapan yang keluar dari mulut mereka justru memperkeruh suasana, bahkan memantik gelombang protes rakyat. Fenomena salah omong ini bukanlah sekadar kekhilafan individu, melainkan gejala komunikasi politik yang kehilangan etika.
Mestinya mereka sadar, ucapan seorang pejabat publik adalah cermin dari cara negara berkomunikasi dengan rakyatnya. Karena itu, komunikasi politik selalu menuntut kehati-hatian dan tanggung jawab moral.Â
Beberapa pernyataan pejabat akhir-akhir ini menjadi bukti telanjang betapa komunikasi politik di negeri ini sedang mengalami krisis empati. Ambil contoh ucapan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Belum genap sehari dilantik, ia menyebut gerakan 17+8, tuntutan atas gejolak demonstrasi hanyalah suara minoritas masyarakat.Â
Lebih jauh, komentarnya bahwa rakyat tak akan turun ke jalan jika "sibuk bekerja dan makan enak" seakan mereduksi makna protes menjadi soal perut belaka. Walau ia buru-buru meminta maaf dan mengoreksi ucapannya, tapi cara komunikasinya yang ceroboh itu tak mudah dilupakan.
Ucapan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni bahkan lebih provokatif. Menanggapi slogan "Bubarkan DPR," ia melabeli pendukungnya sebagai "orang tolol sedunia." Alih-alih merespons kritik dengan argumen jernih, pernyataan seperti ini memperlihatkan arogansi sekaligus antipati pejabat terhadap aspirasi rakyat. Tak heran, reaksi publik berubah menjadi kemarahan yang meluas.
Di tingkat daerah, nada serupa juga muncul dari Bupati Pati, Sudewo. Menyikapi protes atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan, ia justru menantang massa: "Jangan cuma 5.000 orang, 50.000 orang juga saya hadapi." Nada konfrontatif ini menggambarkan watak feodal yang menempatkan rakyat sebagai musuh, bukan sebagai pemilik mandat.Â
Fenomena ini sejatinya sudah lama diperingatkan para akademisi komunikasi politik. Deddy Mulyana (Komunikasi Politik: Membedah Visi dan Gaya Komunikasi Praktisi Politik, 2013) menegaskan, komunikasi politik pada hakikatnya adalah jembatan antara penguasa dan rakyat. Begitupun Alo Liliweri (Strategi Komunikasi Masyarakat, 2010) mengingatkan, kegagalan komunikasi publik kerap disebabkan hilangnya empati dalam penyampaian pesan.Â
Maka, membenahi komunikasi politik pejabat publik adalah pekerjaan mendesak. Setidaknya ada tiga prinsip yang semestinya dipegang teguh oleh para pejabat publik. Pertama, empati, yakni kesediaan menempatkan diri di posisi rakyat. Kedua, akuntabilitas, bahwa setiap ucapan publik memiliki konsekuensi politik dan moral. Ketiga, kesantunan, bukan sekadar tata krama, tetapi penghormatan terhadap martabat warga negara. Kasus-kasus blunder di atas adalah bukti nyata kegagalan prinsip-prinsip dasar itu.