Tulisan ini sekadar suara kepedulian, dari seseorang yang tak hanya setia kepada pemerintahnya, akan tetapi juga pelayan bagi bangsanya.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur efisiensi dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) resmi diteken pada 22 Januari 2025. Sejak hari itu, para kepala instansi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pelaksana kebijakan sibuk mengadakan rapat, mendiskusikan bagian-bagian yang harus dipotong, bahkan dibekukan dari setiap mata anggaran. Anggaran yang harus defisiensi meliputi belanja operasional perkantoran, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur hingga pengadaan peralatan dan  mesin. Sementara itu, belanja pegawai dan bantuan sosial dikecualikan dari efisiensi. Dalam Inpres tersebut tertera angka sekitar Rp306 triliun yang harus dihemat oleh hampir seluruh unsur pemerintahan.Â
Pemangkasan anggaran pemerintah - yang pelaksanaannya dilakukan oleh ASN - menuai berbagai respon. Di media sosial, masyarakat umumnya menyampaikan dukungan mereka melalui kolom komentar akun media massa. Di antara komentar-komentar itu terdapat ujaran-ujaran bernada merendahkan kinerja ASN dengan pandangan generalisasi. Menurut sebagian warganet, sudah sepantasnya anggaran kementerian dan pemerintah daerah (Pemda) dipangkas sedemikian rupa. Sampai di sini, agaknya ujaran (sebagian) masyarakat sudah terlalu jauh, tanpa menimbang apa konsekuensi yang akan bertandang.
Masyarakat perlu memahami dampak efisiensi APBN dan APBD terhadap layanan publik. Saat tulisan ini dibuat, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) mengumumkan bahwa pihaknya mengurangi waktu operasional, dari yang sebelumnya buka setiap hari menjadi tutup di hari Minggu. Beruntung, akun Instagram Perpusnas meralat pengumuman mereka pada Jumat (07/02/2025) sore dan menyatakan perpustakaan tetap beroperasi setiap hari. Bagaimanapun, publikasi penyesuaian jam kerja yang sebelumnya dilakukan menunjukkan Perpusnas mengamini bahwa dampak efisiensi anggaran ini nyata adanya. Artinya, pemangkasan anggaran operasional, termasuk belanja listrik dan air, harus ditanggulangi dengan pengurangan jam layanan.Â
Untuk sementara waktu, masyarakat masih dapat mengakses layanan publik instansi lain seperti biasanya. Mereka belum menyadari keberuntungannya, sebab mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi, layanan publik itu terpaksa tak dapat diberikan kepada orang-orang yang ingin mengakses. Perlu diketahui, pemotongan anggaran akan berdampak sangat signifikan terhadap belanja bahan-bahan yang diperlukan agar layanan publik dapat berjalan. Salah satu contohnya adalah Paspor Republik Indonesia dan stiker izin tinggal yang ditempelkan pada paspor orang asing saat memasuki wilayah Indonesia. Belanja bahan kedua produk kebijakan tersebut berpotensi tidak terlaksana optimal pasca gerusan efisiensi. Ketersediaan paspor dan stiker izin tinggal yang kian terbatas dalam beberapa waktu kedepan adalah sebuah keniscayaan. Potensi gagal pelayanan seperti ini membayangi instansi-instansi pemerintah pemberi layanan publik; sebuah situasi yang sungguh membebani pikiran pelayan masyarakat dan mengancam kemaslahatan rakyat.Â
Pada waktu yang hampir bersamaan, gagasan pemangkasan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) ASN mencuat, walau dalam Instruksi Presiden jelas disebutkan bahwa belanja pegawai, yang mencakup pendapatan ASN, dikecualikan dari efisiensi. Saat isu tersebut muncul, dukungan warganet terhadap penyunatan hak-hak ASN juga gamblang terpampang di akun-akun resmi media massa. Gagasan ini kemudian ditanggapi oleh Istana Negara dan Menteri Keuangan, menyatakan  bahwa hak-hak tersebut telah dianggarkan dan akan tetap diberikan. Meskipun demikian, saat pembahasan pemangkasan tunjangan ASN terjadi, kegelisahan dalam hati jutaan pengabdi negeri tak dapat dipungkiri.Â
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja didefinisikan sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, ASN merupakan bagian dari tenaga kerja dan dengan demikian merupakan subjek peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan juga menjelaskan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.Â
Hak-hak ASN diatur melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Komponen penghargaan dan pengakuan pegawai ASN, mengacu UU tersebut, terdiri atas penghasilan, penghargaan yang bersifat motivasi, tunjangan dan fasilitas serta jaminan sosial. Tunjangan dan fasilitas ASN sendiri terdiri dari tunjangan dan fasilitas jabatan serta tunjangan dan fasilitas individu. Gagasan pemotongan Gaji Ke-13 dan THR ASN, dengan demikian, tidak sejalan dengan undang-undang yang berlaku.Â
Realokasi Anggaran Hasil Efisiensi, Sudah Tepatkah?
Anggaran Pemerintah yang dihemat dari segala lini akan digunakan untuk membiayai program-program prioritas. Hingga tulisan ini dibuat, rincian realokasi anggaran untuk setiap program prioritas belum disampaikan secara resmi dan eksplisit, namun pernyataan berbagai sumber yang ditilik oleh penulis menyuratkan Makan Bergizi Gratis sebagai salah satu tujuan realokasi anggaran. Kantor berita internasional independen Associated Press (AP) melaporkan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah-sekolah saat dimulai pada awal Januari 2025. Dalam liputannya, AP menjelaskan bahwa program ini adalah inisiatif Pemerintah Indonesia untuk mengatasi malnutrisi dan stunting dengan menyediakan makanan bergizi bagi hampir 90 juta anak dan ibu hamil hingga 2029, dengan anggaran sekitar Rp450 triliun. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta pendapatan petani melalui distribusi bahan pangan lokal seperti beras, ayam, ikan, sayur, buah, dan susu. Implementasinya melibatkan hampir 2.000 koperasi dan mengutamakan distribusi makanan gratis di sekolah, dengan target awal 19,5 juta penerima pada 2025. Di satu sisi, program Makan Bergizi Gratis mendapat kritik dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) terkait keberlanjutan anggaran negara, risiko peningkatan utang nasional, serta tantangan logistik yang besar. Para analis juga meragukan efektivitasnya dalam menurunkan angka stunting secara signifikan. Selain itu, beban anggaran dari program ini dinilai dapat menjadi tantangan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.
Sudut pandang berbeda disampaikan oleh Ray Wagiu Basrowi, MD, PhD., Sekretaris Jenderal Indonesian Gastronomy Community (IGC) dan Direktur Medis pada Danone Indonesia. Melalui kolom opini di thejakartapost.com, Ia mendukung program makan bergizi gratis sebagai langkah penting dalam mengatasi malnutrisi. Ray juga melihat potensi manfaat MBG yang lebih luas dalam membangun karakter anak-anak Indonesia. Dengan mencontoh negara seperti Jepang, Prancis, dan Finlandia, program ini dapat menjadi alat pendidikan yang menanamkan disiplin, rasa syukur, dan identitas nasional melalui pengalaman makan bersama di sekolah.Â