Korupsi. Mendengar kata ini saja sudah membuat kita menghela napas panjang. Fenomena gunung es kejahatan ini seolah tak pernah usai menjadi benalu yang menggerogoti setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Meskipun lembaga anti-rasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berdiri, dan berbagai undang-undang telah disahkan, mengapa gerak-gerik para koruptor seakan tak pernah terhenti? Jawabannya, menurut saya, terletak pada kelemahan sistem hukum yang kita miliki.
Kita sering melihat berita penangkapan besar-besaran, diikuti dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan. Namun, ketika vonis dibacakan, rasa keadilan publik seringkali terusik. Hukuman yang diberikan, terutama bagi big fish (koruptor kakap), terasa terlalu ringan, tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan.
Pertama, masalah terletak pada ancaman hukuman minimal yang seringkali tidak memberikan efek jera yang memadai. Dalam banyak kasus, terpidana korupsi hanya dikenakan hukuman badan beberapa tahun, bahkan bisa mendapat remisi, sementara harta hasil kejahatan mereka tidak sepenuhnya disita atau dikembalikan ke negara. Seolah-olah, korupsi menjadi sebuah investasi yang risikonya terlampau kecil dengan return (keuntungan) yang sangat besar.
Kedua, lemahnya pelacakan dan penyitaan aset ( asset recovery). Fokus penegakan hukum kita masih terlalu dominan pada pemenjaraan pelaku (retributive justice) dan kurang menekankan pada pengembalian kerugian negara (restorative justice). Selama koruptor masih bisa menikmati kekayaan hasil curiannya setelah bebas, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi sebuah sirkus penangkapan yang tidak efektif.
Etika dan Integritas Penegak Hukum
Tak bisa dipungkiri, "penyakit" ini juga merasuk ke tubuh penegak hukum itu sendiri. Berapa kali kita mendengar berita oknum penegak hukum---dari polisi, jaksa, hingga hakim---yang terjerat kasus suap atau tindak pidana korupsi?
Ketika filter (penyaring) terluar dalam sistem hukum, yakni para penegak hukum, justru mudah ditembus oleh iming-iming uang, maka bisa dipastikan hukum itu sendiri akan kehilangan gigi. Independensi peradilan menjadi taruhan, dan trust (kepercayaan) masyarakat terhadap institusi hukum menjadi semakin terkikis. Ini adalah lingkaran setan: korupsi dilegalkan oleh sistem, dan sistem dilemahkan oleh para oknum.
Solusi yang Mendesak: Ketegasan dan Reformasi
Untuk mengakhiri narasi "korupsi tak pernah usai" ini, perlu ada langkah-langkah drastis:
- Revisi Undang-Undang Korupsi: Hukuman bagi koruptor, terutama yang menimbulkan kerugian negara besar, harus diperberat. Pertimbangkan penerapan hukuman mati untuk kasus-kasus tertentu atau, yang paling minimal, pemiskinan total (penyitaan seluruh harta yang tidak dapat dibuktikan perolehannya secara sah).
- Perkuat Asset Recovery: Pemerintah harus segera mengesahkan regulasi yang memperkuat kemampuan aparat untuk melacak, membekukan, dan menyita aset hasil tindak pidana korupsi, bahkan jika aset tersebut sudah dipindahtangankan ke pihak lain atau disimpan di luar negeri.
- Audit dan Pengawasan Internal Ketat: Harus ada mekanisme pengawasan yang super ketat terhadap seluruh aparat penegak hukum guna memastikan integritas mereka. Gaji dan tunjangan yang layak harus diimbangi dengan sanksi pemecatan dan pidana yang berat jika terbukti melanggar.
Korupsi adalah musuh bersama. Selama kelemahan-kelemahan sistem hukum ini tidak diperbaiki, maka kita akan terus-menerus terjebak dalam siklus penangkapan dan pembebasan koruptor. Sudah saatnya kita menuntut hukum yang tidak hanya tegas dalam kata-kata, tapi juga tajam dalam tindakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI