Demo Ojol dan RUU Transportasi Online: Antara Aspirasi Roda Dua dan Regulasi yang Tertunda.
Roda Dua Tak Lagi di Belakang, tapi di Barisan Depan
Dulu, ketika kita bicara soal transportasi umum, bayangan yang muncul adalah kendaraan beroda empat seperti angkot, bus kota, atau bahkan kereta api. Kendaraan roda tiga seperti bajaj dan bemo pun telah lama masuk dalam sistem angkutan resmi, diberi ruang dalam aturan teknis dan laik jalan. Namun roda dua, yang jumlahnya jauh lebih banyak dan mobilitasnya lebih tinggi, justru tak pernah diakui sebagai bagian sah dari sistem angkutan umum. Padahal realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.Â
Ojek online (ojol), sejak kehadirannya di awal 2010-an, telah menjelma menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat urban. Mereka tak hanya mengangkut penumpang, tetapi juga paket, makanan, obat-obatan, bahkan harapan dari jutaan keluarga yang menggantungkan nafkahnya pada ekonomi digital.
Transformasi digital telah mendisrupsi cara kita berpindah, bekerja, dan mengakses layanan. Namun sayangnya, regulasi kerap tertinggal dari realitas. Ketimpangan inilah yang akhirnya memunculkan gelombang aksi, seperti demonstrasi besar pengemudi ojol pada 20 Mei 2025. Teriakan di jalanan itu bukan semata soal tarif atau insentif, tetapi tentang pengakuan.Â
Pengakuan bahwa roda dua bukan sekadar pelengkap, tetapi pilar utama transportasi daring. DPR RI pun akhirnya bersuara: mereka menyatakan komitmennya untuk merancang RUU Transportasi Digital, sebagai wujud respons atas aspirasi para pengemudi.Â
Momen ini bukan hanya soal merespons demo, tetapi tentang menata ulang paradigma transportasi nasional agar mampu menjawab tantangan zaman, dari motor ke mobil listrik, dari manusia ke algoritma. Negara dituntut hadir, bukan sekadar mengatur, tapi mendampingi evolusi ini agar berpihak pada keadilan dan masa depan.
UU dan Realitas: Roda Tiga Diakui, Roda Dua Diabaikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menyebut bahwa angkutan umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk mengangkut orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran. Namun, tidak ada ketentuan eksplisit yang melarang kendaraan roda dua, melainkan definisi "angkutan umum" dalam praktik administratif selama ini mengacu pada kendaraan bermotor beroda empat atau lebih.Â
Di sinilah terjadi ketimpangan tafsir dan pelaksanaan. Ironisnya, kendaraan roda tiga seperti bajaj dan bemo justru mendapat legitimasi penuh sebagai angkutan orang resmi.Â