Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM) serta Sertifikasi Kompetensi Perencana Keuangan Syariah Internasional (RIFA). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kartu Layak Kerja: Tiket Masuk Dunia Nyata

16 Mei 2025   08:00 Diperbarui: 16 Mei 2025   07:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Solo Menawarkan Jurus Baru, Bukan Sekadar Gimik Seremonial

Ketika dunia kerja semakin kompetitif dan dinamis, Solo memilih untuk tak sekadar berdiam diri. Inovasi terbaru dari Wali Kota Solo berupa "Kartu Layak Kerja" bukan hanya tambahan kartu dalam dompet anak muda, tapi sebuah pernyataan politik dan sosial bahwa pemerintah kota ikut turun tangan dalam menjembatani gap besar antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Berbeda dari kartu-kartu lain yang lebih bersifat bantuan atau akses layanan, Kartu Layak Kerja ini memosisikan dirinya sebagai penghubung strategis antara potensi generasi muda dan kebutuhan riil dunia industri.

Inisiatif ini jelas bukan sekadar meneruskan warisan pendahulu. Jika Wali Kota sebelumnya dikenal dengan gebrakan infrastruktur dan branding kota, kini fokusnya beralih pada infrastruktur manusia. Sebuah langkah yang tak kalah strategis, mengingat tantangan terbesar masa depan adalah kualitas SDM, bukan sekadar kuantitasnya. Kartu ini bukan pula gimik musiman, tetapi representasi dari semangat baru: bahwa setiap warga, terutama Gen Z dan Gen Alpha, layak untuk bekerja, bukan karena belas kasihan, melainkan karena kompetensinya sudah diverifikasi dan diakui.

Dengan meluncurkan Kartu Layak Kerja, Solo mengukuhkan diri sebagai laboratorium kebijakan ketenagakerjaan yang layak diamati oleh kota-kota lain di Indonesia. Ini bukan hanya tentang menciptakan pekerja, tapi membangun ekosistem kerja yang sehat dan berorientasi masa depan. Jika eksekusinya tepat, kebijakan ini bisa menjadi cetak biru nasional. Tapi jika hanya jadi formalitas administratif tanpa ekosistem pendukung, maka akan bernasib sama seperti banyak kartu lain yang berakhir di laci meja, berdebu dan dilupakan.

Dari Entry-Level Hingga Manajerial: Menyusun Kriteria Layak yang Objektif

Untuk membuat "layak" menjadi ukuran yang bisa dioperasionalkan, Pemerintah Kota Solo menetapkan kriteria spesifik yang mengacu pada jenjang kerja: entry-level, klerikal, dan manajerial. Bukan hanya soal ijazah atau titel akademik, tapi kombinasi antara pendidikan formal, pengalaman kerja, dan sertifikasi keterampilan. Ini menunjukkan bahwa Solo sedang menggeser paradigma: dari hanya melihat latar belakang pendidikan, menjadi lebih inklusif terhadap mereka yang memiliki jalur non-formal tapi punya kompetensi yang setara.

Untuk pekerja entry-level, misalnya, tidak melulu harus lulusan D3 atau S1. Asal memiliki keterampilan dasar, semisal sertifikasi keahlian digital marketing, desain grafis, barista, atau coding dasar dari lembaga terpercaya, maka mereka bisa dianggap layak. Di level klerikal, kriteria menjadi kombinasi antara pengalaman kerja minimal satu hingga dua tahun dan bukti keterampilan seperti sertifikat administrasi perkantoran atau keuangan dasar. Sementara pada level manajerial, indikator yang digunakan jauh lebih kompleks: pengalaman kepemimpinan tim, sertifikasi manajemen, hingga rekam jejak proyek.

Dengan kriteria yang fleksibel namun terstruktur, Solo memberi sinyal kepada dunia kerja bahwa kelayakan seseorang bukan ditentukan oleh 'siapa' dia, tetapi 'apa' yang bisa dia lakukan dan tunjukkan. Ini sekaligus membuka ruang bagi kalangan yang selama ini terpinggirkan dari proses rekrutmen hanya karena tidak punya ijazah dari institusi ternama.

Namun pekerjaan rumah berikutnya adalah membangun sistem asesmen yang kredibel. Tidak cukup dengan pengakuan administratif, perlu ada sistem digitalisasi data pekerja, penilaian berbasis bukti (evidence-based assessment), serta validasi silang antara pemerintah, lembaga pelatihan, dan dunia industri. Kartu ini harus menjadi hasil akhir dari proses panjang yang terstandarisasi, bukan sekadar dicetak lalu dibagikan.

Gen Z, Gen Alpha, dan Jurang antara Sekolah dan Dunia Nyata

Gen Z dan Gen Alpha tumbuh di tengah disrupsi teknologi, iklim kerja yang cair, dan ekspektasi karier yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Namun sistem pendidikan kita masih berkutat pada model abad ke-20 yang mengutamakan hafalan, bukan keterampilan praktis. Di sinilah Kartu Layak Kerja menjadi penting: sebagai platform link and match, jembatan konkret antara output pendidikan dan input industri.

Pemerintah Kota Solo memahami bahwa jurang antara sekolah dan dunia nyata bukan soal kurikulum semata, tapi soal mindset. Dunia kerja kini menuntut kolaborasi, kreativitas, dan kemampuan adaptasi, bukan hanya nilai akademik. Melalui Kartu Layak Kerja, Solo mencoba melakukan matchmaking antara lulusan dan lowongan, antara potensi dan peluang. Bahkan lebih dari itu, kartu ini bisa menjadi alat navigasi karier yang membimbing anak muda dalam memilih jalur pelatihan atau pengalaman kerja yang sesuai dengan aspirasi mereka.

Namun agar efektif, dunia industri pun harus berbenah. Banyak perusahaan masih menggunakan model rekrutmen yang kaku dan konvensional. Job desc yang tidak realistis, syarat pengalaman kerja yang ironis (misalnya fresh graduate tapi wajib pengalaman dua tahun), serta diskriminasi usia dan institusi pendidikan, menjadi penghalang utama link and match. Solo mengajak perusahaan untuk merevisi pendekatan mereka: membuka diri terhadap model rekrutmen berbasis potensi dan hasil asesmen, bukan sekadar CV dan almamater.

Inisiatif ini juga perlu didukung dengan platform digital yang memuat profil para pencari kerja pemegang Kartu Layak Kerja, sehingga perusahaan bisa melakukan pencarian secara langsung, layaknya LinkedIn versi lokal. Dengan begitu, matchmaking bisa berjalan secara efisien dan transparan. Lebih jauh lagi, pemerintah daerah bisa menganalisis data ini untuk merancang pelatihan baru sesuai kebutuhan industri yang terus berubah.

Praktik Global: Inspirasi dari Singapura, Jerman, dan Australia

Solo bukan yang pertama di dunia dalam urusan memformalkan kelayakan kerja dalam bentuk kartu atau sistem identifikasi kompetensi. Negara-negara seperti Singapura, Jerman, dan Australia sudah lebih dahulu membangun sistem sejenis dengan pendekatan masing-masing yang bisa jadi pelajaran penting.

Di Singapura, misalnya, ada sistem SkillsFuture Credit, di mana setiap warga dewasa mendapatkan kredit pelatihan yang bisa digunakan untuk kursus atau pelatihan yang telah diakui pemerintah. Sistem ini sangat personalisasi dan terhubung langsung dengan National Skills Framework, sehingga setiap pekerja tahu apa saja keterampilan yang dibutuhkan di industri tertentu dan bagaimana cara memperolehnya. Bahkan perusahaan pun turut diberi insentif untuk merekrut berdasarkan keterampilan, bukan semata-mata ijazah.

Jerman dikenal dengan sistem dual vocational training, di mana pelajar menghabiskan waktu setengah di sekolah dan setengah di perusahaan. Dengan sertifikasi industri yang ketat dan keterlibatan langsung dunia usaha dalam merancang kurikulum, lulusan vokasi di Jerman hampir selalu siap kerja. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai satu-satunya penentu pelatihan.

Australia memiliki National Skills Passport, yang menyimpan rekam jejak pembelajaran sepanjang hayat seseorang. Ini mencakup sertifikat pelatihan, pengalaman kerja, hingga rekomendasi profesional. Dengan sistem ini, perusahaan bisa dengan mudah mengecek kredensial seorang pelamar tanpa harus melalui proses verifikasi yang rumit. Transparansi dan efisiensi menjadi kata kunci.

Solo bisa belajar dari keberhasilan dan tantangan sistem-sistem ini. Misalnya, bagaimana membangun trust antar pemangku kepentingan, bagaimana mengintegrasikan data, dan yang terpenting: bagaimana menjadikan sistem ini sebagai bagian dari kebijakan jangka panjang, bukan proyek jangka pendek yang terhenti saat kepemimpinan berganti.

Kartu Layak Kerja, Jalan Menuju Keadilan Kompetensi

Kartu Layak Kerja bukan sekadar program teknokratik, melainkan penanda pergeseran paradigma besar dalam kebijakan ketenagakerjaan. Ia hadir membawa gagasan bahwa kerja tidak lagi semata-mata hak mereka yang beruntung lahir dalam keluarga mampu, sekolah di tempat elit, atau punya koneksi orang dalam. Kartu ini mendobrak tembok diskriminatif yang selama ini menghambat talenta-talenta muda, terutama dari Gen Z dan Gen Alpha, untuk bersaing secara adil di dunia kerja. Solo, melalui jurus baru ini, mencoba menegaskan bahwa kompetensi adalah mata uang utama dalam era ekonomi berbasis keterampilan (skills-based economy). Siapa pun yang memiliki bukti keterampilan yang terverifikasi, layak mendapatkan peluang kerja, promosi, bahkan akses pelatihan lanjutan.

Dalam konteks Indonesia yang plural dan sarat ketimpangan akses, keberadaan Kartu Layak Kerja bisa menjadi instrumen pemerataan sosial yang nyata. Ini adalah bentuk keadilan yang tidak memanjakan, tapi memberdayakan. Namun tentu saja, kartu ini bukan solusi ajaib yang akan menyelesaikan semua persoalan ketenagakerjaan dalam semalam. Ia harus dibarengi dengan reformasi ekosistem: digitalisasi data tenaga kerja, standarisasi asesmen kompetensi, insentif bagi perusahaan yang merekrut berdasarkan keterampilan, hingga sinergi lintas sektor antara pendidikan, pelatihan, dan industri.

Jika dijaga konsistensinya dan terus dikembangkan sesuai dinamika lapangan, Solo punya peluang besar menjadi pelopor kota dengan sistem ketenagakerjaan paling progresif di Indonesia. Dari kota ini, semangat meritokrasi bisa menyebar ke daerah lain. Kartu Layak Kerja, jika dimaknai serius, bukan hanya kartu biasa, tapi kartu yang membuka pintu masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun