Perdagangan Digital dan Pertarungan Narasi Global
Isu QRIS bukan hanya soal barcode, tapi tentang siapa yang berhak menentukan masa depan digital sebuah negara. Laporan NTE 2025 adalah cermin dari pertarungan narasi: antara keterbukaan dan kedaulatan, antara globalisasi dan proteksi data. Di satu sisi, Amerika dan sekutunya menekankan pentingnya pasar terbuka. Di sisi lain, negara seperti Indonesia mencoba membangun sistem yang inklusif, aman, dan sesuai kebutuhan rakyatnya, bukan sistem yang tunduk pada logika pasar semata. QRIS, dalam hal ini, menjadi pion penting dalam upaya Indonesia memperkuat basis ekonomi digital yang tidak hanya efisien, tapi juga mandiri dan adil.
Padahal QRIS terbukti mempermudah akses keuangan bagi pelaku UMKM, masjid, koperasi, dan institusi pendidikan. Tak ada biaya transaksi tinggi seperti yang dikenakan oleh platform asing. QRIS juga mendorong literasi keuangan, pencatatan transaksi, hingga integrasi dengan pajak. Tapi fakta ini tenggelam di balik narasi USTR bahwa QRIS menutup pintu bagi kompetitor asing. Pertanyaannya: apakah negara tidak boleh membangun sistem yang sesuai kebutuhan dan nilainya sendiri? Jika semua harus diseragamkan dengan standar global yang dikendalikan satu arah, lalu di mana ruang bagi keberagaman sistem dan arsitektur digital yang kontekstual?
QRIS Adalah Keris Digital Kita
QRIS bukan sekadar alat transaksi digital, ia adalah simbol, strategi, dan sekaligus pernyataan sikap. Ia mewakili semangat Indonesia untuk membangun arsitektur ekonomi digital yang tidak hanya efisien dan terjangkau, tetapi juga berdaulat. Di tengah gempuran sistem global yang dikendalikan oleh segelintir negara dan korporasi besar, QRIS berdiri sebagai manifestasi dari tekad Indonesia untuk tidak larut menjadi pasar semata. QRIS hadir untuk memastikan bahwa teknologi tidak melulu berarti dominasi, tetapi juga bisa menjadi sarana emansipasi ekonomi.
Ketika AS, melalui USTR, menyebut QRIS sebagai hambatan perdagangan, maka tudingan itu sesungguhnya justru menegaskan pentingnya keberadaan sistem ini. QRIS dianggap ancaman karena ia efektif, efisien, dan tidak bergantung pada infrastruktur asing. Ia tidak menguntungkan perusahaan global, tetapi memberi daya kepada pelaku ekonomi lokal, UMKM, masjid, koperasi, sekolah, bahkan hingga pedagang kaki lima. Dalam sistem ini, rakyat menjadi subjek, bukan objek. Dan itu, dalam paradigma ekonomi global saat ini, adalah bentuk perlawanan yang tak termaafkan.
Seperti keris dalam budaya Nusantara, yang tidak digunakan sembarangan, melainkan dipilih, dirawat, dan diwariskan, QRIS pun tidak lahir dalam ruang hampa. Ia dibentuk melalui dialog panjang antara regulator, industri, dan masyarakat, serta melalui pemahaman mendalam atas kondisi ekonomi nasional. Maka ketika QRIS diplesetkan sebagai "keris digital", itu bukan lelucon. Itu adalah bentuk afirmasi terhadap sebuah perjuangan panjang untuk menciptakan sistem yang berpihak, berakar, dan berdaulat.
Kita tidak menolak keterbukaan. Kita tidak menolak kerja sama internasional. Tapi kita menolak dominasi yang membungkus diri dalam narasi kebebasan pasar. Dunia digital tak boleh menjadi ruang tanpa batas yang hanya menguntungkan yang kuat. Ia harus menjadi ruang yang adil, di mana negara berkembang seperti Indonesia bisa membangun jalan sendiri. Dan QRIS adalah jalan itu. Keris digital itu kini telah dihunus, bukan untuk menyerang, tapi untuk menjaga harga diri dan masa depan bangsa di tengah pusaran arus globalisasi yang kerap tak ramah pada kemandirian.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI