Dengan hilirisasi, Indonesia bisa mengatasi permasalahan ini dengan mengembangkan industri pengolahan pangan yang lebih mandiri dan berbasis bahan lokal.
Kasus Tempe dan Kedelai: Paradoks Kedaulatan Pangan
Tempe adalah makanan tradisional Indonesia yang telah mendunia. Namun, ironisnya, bahan baku utama tempe, yaitu kedelai, lebih dari 80% masih diimpor, terutama dari Amerika Serikat dan Brasil.Â
Ketergantungan ini membuat harga tempe sangat sensitif terhadap fluktuasi harga kedelai global. Jika harga kedelai di pasar dunia naik atau terjadi gangguan dalam rantai pasokan, maka harga tempe di dalam negeri ikut terdampak.
Padahal, Indonesia memiliki potensi besar untuk membudidayakan kedelai sendiri. Namun, berbagai faktor seperti rendahnya produktivitas lahan, kurangnya insentif bagi petani, serta minimnya riset dan inovasi membuat produksi kedelai dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional.
Hilirisasi kedelai harus mencakup tidak hanya pengolahan, tetapi juga substitusi impor dengan bahan lokal. Pengembangan alternatif bahan baku seperti kacang koro bisa menjadi solusi untuk menggantikan kedelai impor dalam pembuatan tempe dan produk turunannya. Selain itu, program pendampingan petani, subsidi benih unggul, serta investasi dalam teknologi pertanian harus menjadi bagian dari strategi hilirisasi pangan.
Mencegah Fluktuasi Harga dengan AI dan Big Data
Salah satu tantangan utama sektor pertanian di Indonesia adalah fluktuasi harga yang tajam akibat ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan. Ketika panen raya terjadi, harga bisa jatuh drastis, sementara saat produksi menurun, harga melonjak tinggi.
Di sinilah peran kecerdasan buatan (AI) dan big data menjadi penting. Dengan teknologi ini, pemerintah dan petani bisa mendapatkan prediksi yang lebih akurat mengenai tren produksi dan konsumsi, sehingga penanaman bisa dilakukan dengan lebih terukur dan sesuai kebutuhan pasar.
AI bisa membantu dalam:
- Analisis cuaca dan prediksi hasil panen -- Dengan data iklim yang diperoleh secara real-time, petani bisa menentukan kapan waktu terbaik untuk menanam dan memanen.
- Optimalisasi distribusi hasil panen -- Dengan memanfaatkan big data, pemerintah bisa mengatur distribusi hasil panen ke wilayah yang membutuhkan, sehingga tidak terjadi surplus di satu daerah dan kelangkaan di daerah lain.
- Pola konsumsi masyarakat -- Dengan analisis data konsumsi, petani dan industri pangan bisa menyesuaikan produksi agar tidak terjadi overproduksi yang berujung pada anjloknya harga.
Negara-negara maju seperti Jepang dan Belanda telah sukses menerapkan sistem pertanian berbasis teknologi ini, sehingga produksi mereka bisa lebih efisien dan stabil. Indonesia juga perlu segera mengadopsi teknologi serupa agar sektor pertanian tidak lagi bergantung pada pola tradisional yang rentan terhadap ketidakpastian pasar.