Banyak orang masih beranggapan bahwa mutu pendidikan semata-mata ditentukan oleh kurikulum dan sarana prasarana sekolah. Namun, faktor yang lebih fundamental sebenarnya terletak di lingkungan sosial dan budaya di sekitar kita. Pendidikan bukan hanya sekadar ruang kelas, kurikulum, atau nilai ujian. Namun lebih dari itu, pendidikan merupakan hasil dari interaksi sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat. Sekolah tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya, sebab keberadaannya terbentuk melalui kepercayaan, nilai, serta kebiasaan yang dibangun secara kolektif oleh masyarakat.
      Sosiolog James Coleman pernah mengemukakan bahwa kesuksesan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan dan kolaborasi di antara individu-individu. Dalam konteks pendidikan, hal ini terlihat dari bagaimana guru, siswa, dan orang tua membangun hubungan yang saling membantu. Ketika komunikasi di antara mereka berjalan dengan baik, semangat belajar pun meningkat. Di sisi lain, masyarakat yang aktif mendukung kegiatan sekolah menunjukkan bahwa kepercayaan sosial tetap menjadi fondasi yang kuat dalam sistem pendidikan kita.
      Pandangan ini diperkuat oleh Robert Putnam (2000) yang menjelaskan bahwa masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi akan lebih mudah memobilisasi sumber daya untuk kepentingan bersama. Dalam dunia pendidikan, hal ini dapat berupa dukungan masyarakat dalam memperbaiki fasilitas sekolah, menyediakan beasiswa, atau sekadar menjaga lingkungan belajar yang aman. Sekolah yang memiliki hubungan sosial yang kuat biasanya lebih berhasil menciptakan suasana belajar yang nyaman dan produktif.
      Di sisi lain, keberhasilan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peran modal budaya. Pierre Bourdieu (1986) mendefinisikan modal budaya sebagai pengetahuan, kebiasaan, dan nilai-nilai yang diwariskan oleh keluarga serta lingkungan sosial. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang terbiasa membaca, berdiskusi, dan menghargai ilmu pengetahuan akan memiliki keunggulan di sekolah. Mereka tidak hanya membawa bekal akademik, tetapi juga kebiasaan berpikir dan berperilaku yang mendukung kesuksesan dalam belajar.
      Namun, jika budaya keluarga dan budaya sekolah tidak sejalan, akan muncul apa yang disebut Bourdieu sebagai ketidaksesuaian budaya (cultural mismatch). Sebagai contoh, anak dari keluarga yang tidak terbiasa berbicara di depan umum mungkin merasa canggung saat harus melakukan presentasi di kelas. Ketidaksesuaian semacam ini dapat membuat siswa merasa terasing dan kurang percaya diri, yang pada gilirannya berdampak pada prestasi mereka.
      Penelitian oleh  Birul Walidaini (2020) menunjukkan bahwa sekolah yang menghargai budaya lokal seperti mengajarkan sastra daerah, tradisi komunitas, atau nilai gotong royong dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Ketika budaya lokal diintegrasikan ke dalam pembelajaran, siswa merasa lebih terhubung dengan lingkungan sosial mereka. Mereka belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai, tetapi juga untuk memahami identitas dan warisan budaya mereka.
      Temuan ini menyatakan bahwa modal budaya memiliki peran penting dalam pemetaan kualitas pendidikan di Indonesia. Ia menekankan bahwa peningkatan mutu pendidikan harus sejalan dengan penguatan nilai-nilai sosial dan budaya dalam masyarakat. Sekolah yang peka terhadap konteks sosial-budaya di sekitarnya akan lebih mudah membangun rasa memiliki, solidaritas, dan tanggung jawab bersama.
      Kombinasi antara modal sosial dan modal budaya merupakan kunci dalam menciptakan pendidikan yang bermakna. Sekolah yang memiliki jaringan sosial yang kuat serta penghargaan tinggi terhadap budaya lokal akan lebih mampu menghadapi perubahan zaman. Sebagai contoh, sekolah yang melibatkan orang tua dalam kegiatan belajar, berkolaborasi dengan tokoh masyarakat, atau mengintegrasikan unsur budaya daerah dalam pelajaran akan menumbuhkan semangat kebersamaan yang mendukung keberhasilan belajar.
      Pada akhirnya, pendidikan yang baik tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk manusia yang peka terhadap lingkungannya dan bangga akan budayanya sendiri. Guru, orang tua, dan masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat kedua modal ini. Guru dapat menciptakan ruang dialog dengan masyarakat, sedangkan orang tua dapat menanamkan kebiasaan positif di rumah dan pemerintah perlu merumuskan kebijakan pendidikan yang inklusif terhadap budaya lokal.
      Maka dari itu, pendidikan yang berlandaskan modal sosial dan modal budaya adalah pendidikan yang hidup. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan rasa empati, gotong royong, dan identitas kebangsaan. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi yang berlangsung cepat, justru nilai-nilai sosial dan budaya itulah yang menjaga pendidikan Indonesia tetap manusiawi dan bermakna. Sudah saatnya pendidikan di Indonesia tidak hanya terfokus pada nilai dan ujian. Mari kita mulai menumbuhkan kembali kepercayaan sosial, semangat gotong royong, dan kebanggaan terhadap budaya lokal di setiap institusi pendidikan.
Sumber :