Ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran yang kembali memanas pada tahun 2025 telah menciptakan gelombang ketidakpastian di panggung global, termasuk dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Konflik ini, yang ditandai dengan serangan militer dan ancaman penutupan jalur perdagangan strategis seperti Selat Hormuz, berpotensi memengaruhi berbagai sektor ekonomi, termasuk investasi di Indonesia. Artikel ini mengulas bagaimana perang tersebut dapat memengaruhi iklim investasi di Indonesia, baik dari segi peluang maupun tantangan, serta langkah strategis yang dapat diambil untuk memitigasi dampaknya.
Kenaikan Harga Minyak dan Ketidakpastian Pasar Global
Konflik Israel-Iran memiliki dampak signifikan terhadap pasar energi global, mengingat posisi strategis Timur Tengah sebagai penghasil minyak dunia. Iran, sebagai salah satu produsen minyak terbesar, memainkan peran penting dalam rantai pasok global. Ancaman penutupan Selat Hormuz, yang mengalirkan sekitar 20-30% pasokan minyak dunia, telah mendorong kenaikan harga minyak mentah. Pada Juni 2025, harga minyak Brent dilaporkan melonjak hingga mendekati US$75 per barel, dengan potensi mencapai US$100 per barel jika konflik berlarut-larut. Kenaikan ini meningkatkan biaya energi, yang secara tidak langsung memengaruhi biaya produksi dan logistik di berbagai industri.
Bagi Indonesia, sebagai negara importir bersih minyak, kenaikan harga minyak dapat memperburuk defisit anggaran karena meningkatnya beban subsidi energi. Hal ini menciptakan ketidakpastian fiskal yang dapat mengurangi kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Selain itu, kenaikan harga energi juga mendorong inflasi, yang dapat menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Prediksi inflasi Indonesia dapat mencapai 5% jika harga minyak terus melonjak, dibandingkan dengan 2,61% pada 2023. Kondisi ini membuat investor, terutama asing, lebih berhati-hati dalam menanamkan modal di Indonesia karena risiko volatilitas ekonomi yang meningkat.
Pengaruh terhadap Pasar Keuangan dan Arus Modal
Eskalasi konflik geopolitik sering kali memicu pergeseran arus modal global. Investor cenderung beralih ke aset-aset aman seperti dolar AS dan emas, yang dianggap lebih stabil di tengah ketidakpastian. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi melemah, dengan perkiraan mencapai Rp17.000 per dolar jika ketegangan berlanjut. Pelemahan rupiah ini meningkatkan biaya impor bahan baku dan utang luar negeri, yang dapat memengaruhi profitabilitas perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama di sektor manufaktur dan industri berbasis energi.
Selain itu, pasar saham Indonesia, yang diukur melalui Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), juga merasakan tekanan. Saham-saham berkapitalisasi besar, seperti di sektor perbankan (BBRI, BMRI, BBCA), mengalami penurunan akibat aksi jual investor asing yang ingin mengurangi risiko di pasar negara berkembang. Indeks volatilitas global (VIX) yang naik ke level 22 pada puncak konflik menunjukkan meningkatnya kekhawatiran investor, yang dapat menghambat aliran investasi asing ke Indonesia. Meskipun demikian, sektor minyak dan gas di Indonesia justru dapat mengalami kenaikan terbatas karena meningkatnya harga komoditas global, memberikan peluang bagi investor di sektor ini.
Dampak pada Sektor Investasi Spesifik
Konflik Israel-Iran juga memengaruhi sektor investasi tertentu di Indonesia. Industri manufaktur, yang bergantung pada bahan baku impor seperti poliester untuk tekstil atau bahan kimia untuk plastik, menghadapi tantangan akibat gangguan rantai pasok global dan kenaikan biaya logistik. Penutupan jalur perdagangan seperti Laut Merah atau Selat Hormuz dapat menambah waktu pengiriman hingga 1-2 minggu, dengan biaya tambahan hingga US$1 juta per pelayaran. Hal ini meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya dapat diteruskan ke konsumen, memicu inflasi lebih lanjut.
Di sisi lain, sektor energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia memiliki peluang untuk menarik investasi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil yang rentan terhadap fluktuasi harga global mendorong urgensi transisi energi. Namun, seperti yang diungkapkan oleh pakar dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, transisi ini membutuhkan investasi besar dan waktu yang tidak singkat, mengingat lebih dari 60% kebutuhan energi Indonesia masih bergantung pada minyak dan batu bara. Insentif pajak dan kemudahan regulasi dapat menjadi kunci untuk menarik investor ke sektor EBT, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Langkah Strategis untuk Menjaga Iklim Investasi
Untuk memitigasi dampak perang Israel-Iran terhadap investasi, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah proaktif. Pertama, memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi moneter yang terukur oleh Bank Indonesia. Kedua, mendorong diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada kawasan Timur Tengah yang rentan konflik. Ketiga, mempercepat pembangunan kilang minyak dalam negeri untuk mengurangi impor minyak dan meningkatkan ketahanan energi. Keempat, memanfaatkan fasilitas Local Currency Settlement (LCS) untuk mengurangi dampak fluktuasi nilai tukar terhadap biaya impor.
Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan kepercayaan investor dengan memperkuat fondasi ekonomi domestik, seperti melalui reformasi regulasi investasi dan pemberian insentif untuk sektor-sektor strategis seperti EBT dan hilirisasi komoditas. Komunikasi yang transparan mengenai langkah-langkah mitigasi juga penting untuk menjaga sentimen positif di kalangan investor.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI