Mohon tunggu...
Faridilla Ainun
Faridilla Ainun Mohon Tunggu... Human Resources - Ibu-ibu kerja

Ibu yang suka ngaku Human Resources Generalist dan masih belajar menulis. https://fainun.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kenapa Cuma Ibu yang Disuruh Sekolah, Padahal Membangun Keluarga Berdua?

7 Januari 2019   15:52 Diperbarui: 7 Januari 2019   16:59 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang pelayan masyarakat dengan pangkat wakil bupati di Jawa Barat mengunggah sebuah postingan yang menggemparkan, adanya program tentang Sekolah Ibu. Namun, sayang seribu sayang, kalimat pembuka diawali dengan catatan sebuah perceraian sebelum membawa masuk ke ide program Sekolah Ibu.

Postingan awal, sebelum diserang (dok. pribadi)
Postingan awal, sebelum diserang (dok. pribadi)
Postingan ini pun membawa pro kontra, apalagi pada barisan ibu-ibu. Kalimat pembuka seolah menyudutkan para ibu dalam kasus perceraian. Kemudian, postingan pun di-edit. Caption tambahan bahwa tak ada kesan menyalahkan ibu pun ditambahkan.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Begitu membaca postingan ini, seketika darah saya sempat ikutan mendidih. Bukan apa-apa, kesan seorang wanita yang selalu salah, apalagi dalam keluarga kembali muncul. Padahal, postingan akan lelaki selalu salah juga kerap muncul dalam sebuah hubungan.

Mungkin pernah ada yang melihat sekilas tentang Mr. Right dan Mrs. Always Right, atau Mr. Always Wrong dan Mrs. Always Right. Tuh kan, kenapa Cuma wanita sih yang disalahkan?

Sumber: zazzle.ca
Sumber: zazzle.ca
Ide bapak wakil bupati ini tentu mengingatkan saya akan masa lalu beliau yang juga pernah mengalami sebuah perceraian. Lalu menjadi pertanyaan, apakah berarti mantan istrinya salah? Ah sudahlah, tak perlu mengungkit masa lalu sebenarnya. Tentu tak enak menyeret urusan mantan yang pastinya sudah membuka lembaran baru.

Secara tak langsung, ide sekolah ibu yang dikaitkan dengan kasus perceraian tentu agak mengganjal. Membina hubungan tentu bukan hanya urusan para ibu atau wanita semata pak.

Peran aktif suami sekaligus bapak juga penting. Ini keluarga, ini pernikahan, dibangun berdua bos! Lalu kenapa hanya ibu saja yang dituntut untuk sekolah? Apakah seorang bapak tak perlu sekolah?

Seorang teman pernah bercerita bahwa ia harus mendatangi kelas pra nikah bersama calon suami. Ini adalah sebuah kewajiban dalam agamanya. Kelas pra nikah membawa pasangan yang berencana menikah untuk lebih memahami seluk beluk pernikahan nantinya. Tak selamanya mulus, bisa saja melalui kelas ini kesiapan diuji. Kalau tak siap, mungkin pernikahan diundur atau malah berujung putus.

Namun, adanya kelas seperti ini tentu membantu memahami pernikahan, segalanya dibahas blak-blakan, termasuk urusan keuangan dan keturunan. Pandangan untuk menyikapi permasalahan akan ujian yang mungkin datang saat pernikahan benar-benar dicari.

Perceraian mungkin baiknya dihindari. Kalaupun harusnya dihadapi, edukasi untuk menghadapinya pun harus diberikan. Kelas pra nikah inilah yang menurut saya lebih baik untuk dicanangkan. Kalaupun mau sekolah ibu, sertakan juga sekolah bapak dong biar adil.

Budaya Patriarki yang masih melekat dengan menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan lebih dominan mungkin jadi alasan. Kenapa perceraian selalu menjadi salah perempuan. Ibu yang tak becus mengurus suami, ibu yang tak becus mengelola keluarga, ibu yang tak punya penghasilan atau tak pandai mengelola keuangan.

Padahal, ada berbagai macam faktor yang menyebabkan perceraian. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi salah satu faktor tingginya angka perceraian. Lalu, kalau sekolah ibu dicanangkan untuk menghindari perceraian, apakah artinya para ibu yang mengalami KDRT di rumah harus menerima saja dan bertahan? Kenapa tidak bapaknya pergi sekolah untuk belajar mengelola diri agar tak melakukan KDRT?

Belum lagi kalau faktor perceraian adalah orang ketiga. Tentu sudah pernah dengar istilah Perebut Laki Orang (Pelakor) atau Pebinor (Perebut Bini Orang). Andaikan ini sekolah untuk ibu, masukkan bahwa perlu ada mata pelajaran bahwa tak selamanya seorang istri salah sehingga membuat muncul orang ketiga perlu dimasukkan. 

Nyatanya, banyak pula istri berusaha sekuat tenaga memberi yang terbaik pada suami namun tetap saja ada yang main dibelakang. Pun begitu pula dengan fenomena Pebinor, artinya para lelaki pun harus sekolah untuk tak main mata dengan istri orang.

Ilustrasi (bustle.com)
Ilustrasi (bustle.com)
Faktor ekonomi yang juga menjadi faktor perceraian memang wajib masuk mata pelajaran jika ada sekolah Ibu. Seorang istri secara tak langsung dituntut untuk pandai mengelola uang dalam keluarga. 

Namun jangan salah, kalau memang budaya patriarki yang lebih dominan, berarti tanggung jawab mencari nafkah di suami kan? Nah, kalau suaminya malas-malasan. Tuh, perlu juga kan sekolah bapak, biar berasa ada tanggung jawab mencari rezeki.

Inget bos, banyak anak banyak rezeki (YANG HARUS DICARI). Tuh, mba VA aja sampai menjemput rezeki keluar kota, ini suami banyak yang males-malesan menjemput rezeki. Giliran ada kasus perceraian karena ekonomi, lagi-lagi istri yang disalahkan.

Perceraian tentu hal yang tak ingin dihadapi. Termasuk saya juga gak mau lah. Makanya, saya ikutan kelas-kelas dan membaca buku juga. Oh iya, mau ngasih tau aja sih ke Pak Wakil Bupati kalau sekolah untuk ibu sebenarnya sudah menggurita secara online.

Mungkin Pak Wakil Bupati belum tahu tentang Institut Ibu Profesional. Komunitas untuk para calon Ibu dan para Ibu untuk meningkatkan kualitas diri sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu. Komunitas ini menggelar forum belajar secara online dan offline. Padahal, tentu saja bekerja sama dengan komunitas pasti akan lebih memudahkan tugas dari pemerintah.

Ada juga kok banyak seminar atau workshop tentang keluarga dan suami istri. Ceramah di masjid tentang keluarga juga banyak kok Pak. Cuma, lagi-lagi, kalau tentang keluarga atau pasangan, coba deh dilihat seberapa banyak partisipasi dari para suami. Plus dilihat juga ya, gimana penerapannya. Jangan-jangan keluar tempat belajar, ilmu langsung menguap.

Balik lagi ke urusan ide sekolah ibu. Mengingat hubungan dalam keluarga itu terdiri dari suami istri atau bapak ibu, jadi sekolah itu tentu baiknya tak hanya di satu pihak ya. Membina hubungan bersama, artinya sekolah pun bersama. Percuma pak kalau Cuma ibu sekolah trus balik rumah bapaknya juga gak mau berubah.

Bukannya kalau sekolah bareng lebih enak, diskusi lebih lancar juga. Oh iya, sekolahnya kalau bisa jangan pas udah nikah ya, sebelum nikah juga penting. Rasanya, sekolah sebelum nikah mungkin gak Cuma bisa menekan angka perceraian nantinya, tapi juga menurunkan tingkat pernikahan usia dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun