Aku yang mendengar ceritanya lewat sambungan telepon ikut terharu. Menyesali mengapa tak dari dulu aku tergugah mencari tahu keberadaannya.
Tak hanya sampai di situ, setelah kunjungan kawan-kawan SMA-nya, qadarullah pintu rezekinya terbuka. Ia sempat berhenti berjualan karena mempertimbangkan produk apa lagi yang lebih laku di pasaran.
"Tiba-tiba saja pesanan malah banyak. Pesanan macam-macam kue, takjil untuk masjid-masjid, sampai nasi untuk berbuka. Tak henti-henti meski aku tak lagi menitipkan jualanku pada pedagang di pinggir jalan."
Aku ikut lega mendengarnya. Hanya dari jauh aku bisa mendukungnya, karena kami terpisah jarak.
"Dari uang lima ratus itu aku putar lagi keuntungannya. Lalu beberapa minggu kemudian kamu menghubungiku, lewat salah satu kawan sekolah kita. Aku senang sekali! Rasanya itu adalah salah satu ramadan terbaik yang kualami," ucapnya menyambung cerita.
"Ditambah bantuan modal darimu, akhirnya aku bisa membeli peralatan yang memadai untuk mengolah makanan, dengan tampilan yang lebih baik. Bahkan sekarang aku ditunjuk sebagai ketua kegiatan pemberdayaan para perempuan di kampungku."
Rasanya yang akan membuat kita semakin bersyukur adalah bila keberadaan kita memberi manfaat dan keberkahan bagi orang lain. Apalah makna pencapaian diri, jika kita tak punya arti sebagai perantara rahmat Allah.
"Aku selalu mendoakan kamu dan anak-anakmu," ucapnya sering kali kepadaku, "Kamu adalah salah satu sahabat terbaikku, yang tak lekang oleh waktu...."