Mohon tunggu...
Yosilia Nursakina
Yosilia Nursakina Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Masih Mampukah Antimikroba Melawan Mikroba pada Tahun 2050?

26 Februari 2019   15:09 Diperbarui: 28 Februari 2019   18:16 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa angka kematian akibat resistensi antimikroba sampai tahun 2014 sebesar 700.000 kasus per tahun (Sumber: www.amazon.com)

Akhir-akhir ini, pemerintah di hampir setiap negara di dunia semakin sering menggaungkan tentang sebuah isu bertajuk resistansi antimikroba

Resistansi antimikroba merupakan kondisi di mana mikroorganisme (seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit) menjadi kebal atau tidak memberikan respons ketika terpapar obat antimikroba (seperti antibiotik, antijamur, antivirus, antimalaria, dan anthelmintik).

Apakah ini kondisi yang berbahaya? Tentu saja. Antimikroba adalah obat yang paling efektif untuk menyembuhkan infeksi mikroba. Pengobatan-pengobatan, seperti seperti operasi penggantian pinggul, operasi caesar, transplantasi organ dan kemoterapi, juga pada dasarnya membutuhkan perawatan antimikroba yang efektif. 

Ketika mikroba kebal terhadap obat-obatan, maka pilihan pengobatan akan semakin terbatas. Penyakit infeksi seperti pneumonia, tuberkulosis, dan gonorrhea menjadi semakin sulit untuk ditangani karena antibiotik menjadi semakin inefektif.

Kenyataan yang ada saat ini

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa angka kematian akibat resistansi antimikroba sampai tahun 2014 sebesar 700.000 kasus per tahun. 

Dengan semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada tahun 2050, kematian akibat AMR akan lebih besar dibanding kematian yang diakibatkan oleh kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa.

WHO menyatakan bahwa terdapat 22 negara dengan pendapatan tinggi hingga rendah menunjukkan resistansi antibiotik terhadap sejumlah infeksi bakteri serius semakin berkembang dalam tingkat yang mengkhawatirkan. 

Bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang paling sering dilaporkan, adalah infeksi bakteri e-coli, infeksi bakteri staphylococcus, pneumonia dan salmonella. 

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kang dan Song menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan besar-besaran resistansi eritromisin di Asia dan prevalensi resistansi penisilin adalah sekitar 57,5% pada isolat meningeal. 

Kita sedang berada dalam kondisi yang sangat berbahaya. Apabila kita tidak tanggap, maka kita bisa saja mengarah ke zaman post-antibiotik, di mana infeksi dan cedera minor dapat membunuh seperti dahulu kala.

Mengapa resistansi antimikroba bisa terjadi?

Penggunaan antimikroba yang tinggi dapat mencerminkan pemberian antimikroba yang berlebihan terutama oleh dokter tanpa indikasi yang jelas, serta akses yang mudah terhadap antimikroba melalui penjualan bebas offline maupun online. Selain itu, ketidakpatuhan pasien terhadap penggunaan antibiotik juga sangat berperan dalam meningkatkan angka resistensi antibiotik.

Tidak hanya pada manusia, penggunaan antibiotik juga cukup tinggi pada ternak, unggas dan perikanan untuk mencegah penyakit dan mempercepat pertumbuhan ternak (Antibiotic Growth Promotor/AGP)

Penggunaan antibiotik dalam pertanian yang meluas dapat mendorong berkembangnya resistansi antibiotik, sehingga kesehatan manusia dan hewan akan semakin terpengaruh.

Selain itu, resistansi antimikroba juga dapat menyebar lewat limbah rumah sakit. Residu antibiotik di lingkungan, limbah cair, dan produk peternakan serta perikanan yang dikonsumsi akan meningkatkan selection pressure

Mekanisme tersebut menunjang proses seleksi alamiah bakteri resisten antibiotik. Konsekuensinya penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut menjadi lebih sulit diobati, memerlukan perawatan lebih lama, serta meningkatkan dampak ekonomi dan sosial. 

Mari ambil peran!

Dalam memerangi ancaman resistansi antimikroba, kita bisa mulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar kita. Pada dasarnya, ada 2 aspek utama yang mendorong resistansi antimikroba, yakni penyalahgunaan antibiotik dan pengendalian infeksi yang kurang optimal.

Kita sebagai pasien juga harus mematuhi nasehat dokter. Gunakan antibiotik hanya jika diresepkan. Jika tidak diperlukan, maka jangan meminta diresepkan antibiotik.

Setelah diresepkan, jangan sampai kita tidak menyelesaikan obat antibiotik tersebut. Jika terapi antibiotik tidak tuntas, maka bisa jadi konsentrasi antibiotik dalam tubuh kita menjadi tidak optimal. Justru konsentrasi sub optimal seperti itulah yang menjadi kondisi ideal untuk bakteri semakin resisten. Lalu, jangan pernah sharing antibiotik, baik yang sisa maupun masih utuh. Walaupun gejalanya sama, bisa saja penyakit dan kuman penyebabnya jauh berbeda.

Selain itu, pengendalian infeksi pencegahan resistansi antimikroba juga dapat dilakukan dengan mencegah infeksi. Bagaimana caranya? Cuci tangan secara rutin, konsumsi makanan yang bersih, dan melakukan vaksinasi sesuai jadwal yang direkomendasikan. Ketika bersin, jangan lupa juga menutup hidung dan mulut kita.

Di satu sisi, tenaga kesehatan harus dapat memberikan edukasi yang benar dan jelas kepada pasien terkait berapa dosis obat yang dikonsumsi, berapa lama obat tersebut harus dikonsumsi. Pemilihan terapi antibiotik juga harus disesuaikan dengan guideline terbaru.

Bagi para pemangku kesehatan, diperlukan kolaborasi multisektor yang terintegrasi dan komprehensif untuk mengatasi ancaman resistansi antimikroba. World Health Organization pun telah menetapkan rencana aksi global pada World Health Assembly bulan Mei 2015 yang berisi:

  1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistansi antimikroba melalui komunikasi, pendidikan, dan pelatihan yang efektif.
  2. Memperkuat dasar pengetahuan dan bukti penggunaan antibiotik melalui pengawasan dan penelitian.
  3. Mengurangi insiden infeksi melalui sanitasi yang efektif, serta pencegahan dan pengendalian infeksi terutama di rumah sakit (termasuk pengelolaan limbah RS).
  4. Mengoptimalkan penggunaan obat antimikroba pada manusia dan hewan.
  5. Mengembangkan studi ekonomi untuk investasi berkelanjutan (obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya)

Jadi, kembali lagi ke pertanyaan di awal. Masih mampukah antimikroba melawan mikroba di tahun 2050? Jawabannya ada di tangan kita. Mari ambil peran, kita lawan resistansi antimikroba bersama-sama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun