Sejak meletusnya Pandemi Covid-19 di Wuhan awal 2019, semua lapisan tatanan hidup mengalami disrupsi. Bahkan hal paling privat seperti preferensi dan kebahagiaan ikut terguncang. Suami istri harus tidur terpisah di ranjang yang berbeda. Para petualang yang kecanduan touring terpukul. Ibu-ibu yang hobi beronda di pusat perbelanjaan harus mengurung diri di sekitar area dapur.Â
Orang muda yang suka nongkrong di keramaian hingga larut malam, tak pernah takut dengan Satpam penjaga malam, terlecut nyalinya karena Corona yang tak terlihat. Bapak-bapak yang doyan pulang kerja malam lebih betah di rumah. Pebisnis yang kaki gatal untuk bepergian ke luar negeri harus "work from home". Mahasiswa yang memiliki banyak SKS berkeluyuran di arena kampus hingga berekspedisi ke tempat hiburan lantas menerima nasib "study from" kos.
Potret arus balik di atas tidak hanya mengganggu tampakan lahiriah, tetapi menggerogoti kondisi batiniah. Fase awal pandemi ini menggusarkan semua jenjang usia. Kekhaosan psikologis bahkan lebih menyakitkan dari sakit fisik. Alih-alih membunuh saraf dan otot, Covid-19 malah lebih mudah mencabut nyawa lewat akses mental. Kelemahan mental menurunkan imun, iman, dan aman. Tragedi atas ras manusia ini bahkan tercatat sebagai yang paling ganas setelah Perang Dunia II.
Pertualangan Pemburu Kebahagiaan
Di dalam kondisi porak-poranda seperti ini, tema kebahagiaan menjadi krusial. Tiap hari orang bergelut dengan: apa itu kebahagiaan? Bagaimana mencapai hidup bahagia? Perihal kebahagiaan adalah masalah klise yang eksistensial. Sejak manusia mengenal dirinya sebagai mahkluk berakal, ia sudah bergulat dengan soal ini. Catatan Yuval Noah Harari dalam bukunya "Sapiens: A Brief History of Humankind" (2014) memberikan percikan fakta baru bahwa homo sapiens sejak kemunculannya di Afrika pada 10.000 SM, memutuskan untuk bertualang karena memburu kebahagiaan, desahan hati yang masih samar-samar dalam imajinasi para leluhur ras manusia ini.
Deskripsi atas gejolak hati di atas baru mulai kelihatan sketsanya pada zaman Hamurabi sekitar tahun 3000 SM. Namun, lukisan kebahagiaan semakin kelihatan jelas melalui jasa para filsuf pra-Sokrates yang meluangkan waktu untuk berpikir, menjernihkan imajinasi. Bagi mereka, hidup bahagia itu ketika irama batiniah dan fisik kamu selaras dengan ritme kosmik.
Di era Cina zaman kuno, Filsuf Lao Tzu mengatakan kebahagiaan itu ibarat kupu-kupu. Kalau dikejar, dia akan berterbangan jauh. Tanam saja bunga di taman depan rumah, nanti kupu-kupu itu akan datang bahkan membawa rombongannya. Kebahagiaan justru semakin jauh dan tidak terasa tatkala orang fokus mencarinya. Saking berkonsentrasi mencari kebahagiaan, kita lupa bahagia. Padahal justru ketika kita tekun mengerjakan hal-hal yang menyenangkan kita, mengembangkan diri, kebahagiaan akan datang menghinggapi hidup kita.
Sokrates, yang kemudian diikuti 'anaknya' Platon dan 'cucunya 'Aristoteles' membalikkan haluan. Bagi mereka, hidup bahagia itu hanya dimiliki orang-orang yang membangun hidup berkeutamaan. Hidup berkeutamaan bagi mereka kurang lebih hidup menurut aliran kodrat. Karena manusia adalah satu-satunya hewan berakal, ia harus hidup di dalam bingkai akalnya.
Di abad pertengahan, banyak pemikir beriman menjamur di seluruh Eropa dan Timur Tengah. Mereka lantas meneropong makna kebahagiaan secara lain. Bagi mereka, misalnya Thomas Aquinas, bahagia sempurna itu tatkala kita bermain mata langsung dengan yang ilahi.
Sebagaimana intelektualitas suka saling mengkhianati, para penggagas era modern mengubur hidup-hidup ide teologis para pemikir abad pertengahan. Akademisi era modern memandang kebahagiaan tidak lain dari mengembangkan ras manusia dengan IPTEK. Semua problematika hidup manusia dapat diselesaikan secara saintis. Takbir hidup manusia menjadi tembus pandang di hadapan optik IPTEK.