Jadi problem kredit seret tampaknya bukan karena kekurangan uang.
Masih ada data lain yang menguatkan keraguan tadi. Fasilitas pinjaman yang sudah disetujui tetapi belum dipakai, undisbursed loan, jumlahnya besar.
Per Agustus 2025, angkanya Rp2.372,11 triliun, sekitar 22,71 persen dari plafon kredit. Artinya, bank sudah siap menyalurkan. Peminjamnya yang belum menggunakan.
Dengan kata lain, uangnya ada, namun sulit mencari pelaku usaha yang ingin berekspansi. Ini juga ditegaskan oleh CNBC Indonesia dan Bank Indonesia.
Dari sini fokus masalah bergeser. Bukan di sisi suplai, yaitu likuiditas bank, melainkan di sisi permintaan.
Dunia usaha masih menahan diri. Banyak yang memilih wait and see.
Iklim ekonomi dirasa belum kondusif untuk investasi baru. Suku bunga kredit pun masih tinggi menurut Bank Indonesia.
Menambah likuiditas tanpa membenahi iklim usaha hanya akan berputar di tempat. Bank tetap sulit menggenjot penyaluran, dan kredit akan tetap lesu.
Ekonom Paramadina, Wijayanto Samirin, mengingatkan soal skenario yang tidak menyenangkan. Dalam skenario terburuk, Rp 200 triliun ini hanya berpindah kantong tanpa efek riil.
Insentifnya jelas: bunga deposito pemerintah sekitar 4 persen, murah.
Bank bisa memakainya untuk refinancing kredit lama, lalu hasilnya dialihkan ke instrumen aman. SBN atau SRBI menggoda, bunganya sekitar 6 persen.