Keputusan memindahkan dana Rp200 triliun bikin banyak orang menoleh. Langsung ramai diperdebatkan.
Menteri Keuangan yang baru dilantik tak menunggu lama, kebijakan ini segera keluar. Alasannya sederhana: dorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Argumen resminya, likuiditas terbatas. Katanya, ini biang keladi kredit yang lesu.
Kredit macet lalu menekan sektor riil. Logika seperti ini perlu diuji ketat dengan data, tentu saja. (Tirto, 2025).
Sumber dananya besar sekali, mengambil porsi signifikan dari SAL, Sisa Anggaran Lebih pemerintah. Skemanya ditaruh sebagai deposito on call dengan tenor enam bulan.
Ada lima bank BUMN yang jadi penampung utama. Bank Mandiri, BRI, dan BNI kebagian paling banyak, sementara BTN dan BSI juga dapat jatah likuiditas.
Ada larangan penting: bank tidak boleh menggunakan dana ini untuk membeli SBN, Surat Berharga Negara.
Titik krusialnya di sini. Dana harus mengalir ke sektor produktif dan penyalurannya lewat kredit. (Tirto, 2025).
Lalu bagaimana data di lapangan? OJK dan BI justru memberi gambaran berbeda. Likuiditas perbankan longgar. Bank tidak sedang kekurangan dana segar (Kontan).
Per Juli 2025, rasio AL/NCD, Alat Likuid terhadap Dana Non-Inti, berada di 119,43 persen. Jauh di atas ambang minimal 50 persen.
Rasio AL/DPK, Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga, juga tinggi, 27,08 persen, sedangkan batas amannya 10 persen. Indikator seperti ini tegas menunjukkan kas bank melimpah ruah (Kontan).