Wacana pembentukan Tim Reformasi Polri disambut banyak harapan. Tapi di sisi lain, kelompok masyarakat sipil memasang kecurigaan. Mereka menginginkan perubahan yang benar-benar mendasar di tubuh Kepolisian.
Selama ini, inisiatif serupa sering terasa reaktif, bukan lahir dari kesadaran atas masalah laten yang sudah lama mengendap. Jangan sampai tim ini berakhir sebagai gimik politik belaka (Tirto, 2025).
Kalau begitu, yang terjadi hanya meredam kritik publik untuk sementara waktu.
Masalah di Kepolisian juga sudah lewat dari sekadar urusan oknum. Persoalannya menyentuh struktur dan kultur.
Pola represi berulang masih tampak. Kekerasan saat demonstrasi berkali-kali terjadi.
Tragedi paling mencolok adalah kematian seorang pengemudi ojol yang dilindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa itu memantik desakan publik agar ada evaluasi menyeluruh, termasuk evaluasi terhadap kinerja Kapolri (Tirto, 2025).
Koalisi masyarakat sipil dan SETARA Institute bersuara keras. Mereka menuntut tim yang benar-benar independen dan progresif, bebas dari konflik kepentingan.
Rekomendasi tim tidak boleh berhenti sebagai laporan di atas kertas. Harus mengikat. Perubahan terhadap UU Kepolisian dipandang krusial untuk menjamin profesionalitas dan supremasi sipil.
Fokusnya tidak cukup pada siapa saja yang duduk di dalam tim. Komitmen politik yang tegas dan mengikat jauh lebih penting.
Isu reformasi Polri sudah bergema sejak 1998 ketika Polri dipisahkan dari TNI. Namun pemisahan itu tidak otomatis merombak tata kelola institusi.
Kultur kekerasan dan impunitas masih kuat menempel. Masalah serius ini macet bertahun-tahun (SETARA Institute, 2025). Tanpa payung hukum, rekomendasi hanya akan berstatus saran administratif.