Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alun-alun Demokrasi Cuma Aksesori, Jika Watak DPR Tetap Tertutup

9 Oktober 2025   19:00 Diperbarui: 1 Oktober 2025   23:12 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, (24/9/2019).(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

Menteri Pigai mencontohkan praktik di negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat (Antara News, 2025).

Perbandingan ini perlu konteks. Di AS ada konsep free speech zones yang kontroversial. Para pegiat sipil menilainya sebagai bentuk sensor terselubung karena menaruh demonstran di luar pandangan, sehingga dampak politiknya berkurang (Wikipedia).

Di Inggris, Parliament Square pun bukan ruang bebas sepenuhnya. Kawasan itu berstatus controlled area. Protes diatur ketat oleh undang-undang tahun 2011, lalu diperkuat lagi pada 2014 (GOV.UK).

Negara maju cenderung mengatur demonstrasi dengan detail, bukan sekadar menyediakan lapangan tanpa pengelolaan.

Kekhawatiran lain datang dari pegiat HAM. Bila tempatnya terbatas dan kapasitasnya kecil, muncul risiko pilah-pilih kelompok. Yang kompromistis mungkin diizinkan, yang kritis ditekan. Ini jelas membatasi hak berdemo itu sendiri (Kompas.com, 2025).

Pada titik itu, usulan Pigai bisa berbalik destruktif jika keliru diterapkan. Pemerintah tidak boleh membatasi aksi hanya di satu lokasi itu.

Fokus seharusnya bergeser ke hal yang lebih substantif. Lembaga negara perlu menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam proses kebijakan. Aturannya bisa mewajibkan anggota komisi DPR keluar menemui perwakilan demonstran.

Transparansi dan akuntabilitas harus jadi standar, terutama dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar membangun plasa. Lapangan di kompleks DPR hanyalah aspek prosedural.

Solusi yang sesungguhnya adalah perubahan sikap di DPR. Wakil rakyat harus membuka diri dan bertindak akuntabel. Tanpa itu, ruang demonstrasi apa pun hanya akan terasa seperti penjara, sekaligus memperkecil kebebasan berpendapat. 

***

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun