Dampaknya jelas. Pembentukan holding. Restrukturisasi. Sampai persetujuan aksi korporasi besar harus melewati Danantara.
Kementerian makin mirip pengawas administratif. Bukan penentu haluan.
Kementerian kehilangan posisi. Dari pengambil keputusan utama. Jadi penonton. Sementara Danantara jadi aktor pusat.
2. Birokrasi Lambat dan Mahal
Bayangkan BUMN ingin buka cabang baru atau masuk bisnis baru. Dalam skema sekarang, izin harus lewat dua meja: Kementerian BUMN dan Danantara. Kewenangannya mirip, dan keputusan penting perlu stempel keduanya.
Konsekuensinya mudah ditebak. Rapat dua kali, berkas dikirim dua kali, menunggu jawaban dari dua arah. Waktu molor, biaya administrasi naik, peluang bisa lewat.
Perusahaan swasta sudah eksekusi, BUMN masih rapat koordinasi. Hasilnya, kalah cepat.
Ibarat ada dua sopir duduk di satu mobil, masing-masing pegang setir. Mobil mungkin jalan, tapi arahnya mudah saling tarik. Risiko oleng selalu ada.
Tanpa pembagian tugas yang jelas, BUMN akan terus tersendat. Kalau mau efisien, cukup satu sopir yang memegang kendali.
3. Akuntabilitas Melemah, Risiko Oligarki Baru
Dalam pemerintahan, akuntabilitas berarti setiap keputusan bisa diawasi publik. Dulu, Kementerian BUMN berperan sebagai jembatan antara negara dan warga.
Saat ada masalah, publik tahu harus bertanya ke siapa. Kini banyak fungsi penting berpindah ke Danantara, sebuah badan investasi negara.
Masalahnya, Danantara bukan lembaga yang biasa disorot publik. Lebih tertutup, teknis, dan tidak langsung terikat kontrol politik seperti kementerian.