Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Realitas Profesi Food Tester yang Jauh dari Kesan Selangit

29 September 2025   23:00 Diperbarui: 26 September 2025   15:24 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesi food taster sudah banyak berubah. Perannya kini jauh lebih besar. Dulu tugasnya sederhana di atas kertas: mencicipi makanan raja untuk memastikan tidak ada racun. Tujuan utamanya jelas, menyelamatkan nyawa.

Sekarang profesi ini menempel erat pada industri makanan global. Anggapan gajinya selalu luar biasa tinggi? Seringnya keliru.

Gambaran itu terlalu menyederhanakan realitas. Pekerjaan ini butuh lebih dari sekadar lidah peka.

Diperlukan pemahaman yang dalam tentang makanan dan prosesnya. Ada sejumlah fakta yang sering terlewat.

Sejarah mencatat mereka sebagai garda terdepan. Salah satu kisah yang kerap diceritakan adalah soal tim pencicip Adolf Hitler. Margot Wlk, salah satu anggotanya, pernah menjadi bagian dari tim tersebut (Wikipedia).

Tugas mereka memastikan setiap hidangan aman dari racun sebelum sampai ke pemimpin itu. Praktik pengamanan dengan semangat serupa juga berlaku untuk Presiden Amerika Serikat.

Mantan juru masak Gedung Putih, Walter Scheib, menjelaskan bahwa tidak ada pencicip khusus, tetapi semua hidangan melalui proses penyaringan dan pemeriksaan ketat sebelum disajikan (YouTube).

Dari dulu sampai sekarang, benang merahnya sama: meminimalkan risiko, melindungi nyawa.

Seiring industri kuliner tumbuh dan persaingan pasar makin keras, peran food taster bergeser. Perusahaan membutuhkan analis sensori, bukan sekadar penjaga keamanan makanan.

Pekerjaannya lebih kompleks. Mereka menilai rasa, tekstur, aroma, juga penampilan. Analisis ini penting untuk melahirkan produk yang unik serta konsisten di pasar yang kompetitif (Ottimmo International Master).

Profesi ini berkembang menjadi disiplin terukur, jauh dari sekadar mengandalkan insting pribadi.

Di sisi lain, ekspektasi tentang gaji sering tidak cocok dengan realitas. Banyak yang membayangkan pendapatan fantastis, padahal data riset di Indonesia menunjukkan hal berbeda.

Rata-rata gaji penguji makanan berada di kisaran Rp3,8 juta sampai Rp7,8 juta per bulan (Gajimu.com). Angka tersebut umumnya di atas UMR regional, namun jelas tidak selalu "selangit".

Penghasilan tertinggi biasanya dinikmati profesional senior atau konsultan berpengalaman. Bukan mereka yang baru mulai. Mayoritas penguji rasa menerima gaji standar sesuai posisi dan tanggung jawab di perusahaan.

Soal prospek, peluangnya ada, tetapi perlu kacamata realistis. Permintaan terhadap produk berkualitas meningkat, sementara jumlah lowongan di Indonesia masih terbatas.

Kompetisinya ketat karena syaratnya juga tinggi. Dibutuhkan indera perasa yang sensitif dan terlatih.

Latar belakang pendidikan di ilmu pangan atau nutrisi sangat membantu. Pengetahuan kimia makanan menjadi nilai tambah. Sertifikasi relevan mendukung, dan pengalaman kerja tetap krusial.

Kemampuan komunikasi pun bukan aksesori, melainkan kebutuhan inti. Penguji tidak hanya mencicipi. Mereka menyusun laporan rinci, menganalisis atribut sensori untuk setiap sampel, lalu menerjemahkan temuan menjadi perbaikan produk yang nyata.

Intinya, profesi ini menuntut kombinasi kepekaan sensori, pengetahuan ilmiah, dan komunikasi yang solid. Jauh dari gambaran glamor semata.

Butuh keahlian khusus dan dedikasi tinggi. Gaji besar tidak otomatis untuk semua orang.

Namun perannya penting. Menjaga kualitas dan mendorong inovasi di industri makanan.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun