Di masa Perang Dunia II, Hindia Belanda berubah jadi panggung besar konflik. Kaum Indo-Eropa terjepit di tengah. Mereka hidup di dua dunia sekaligus. Bukan sepenuhnya Eropa, tapi juga bukan pribumi.
Posisi serba tanggung ini membuat mereka gampang jadi sasaran politik Jepang. Tokyo mencoba merebut hati mereka lewat semboyan "Asia untuk Bangsa Asia."
Sejak itu, loyalitas komunitas ini terus digugat. Ujungnya meledak dalam peristiwa yang belakangan dikenal sebagai "Glodok Affair," salah satu bab kelam ketika identitas dipakai sebagai alasan penindasan (Scholarly Publications, 2018).
Kebijakan Jepang sebenarnya tidak lurus-lurus saja. Pada awalnya, mereka justru merangkul kelompok Indo-Eropa untuk mendukung mesin perang.
Kantor Urusan Peranakan dibentuk pada Agustus 1943, dipimpin Hamaguchi Shinpei. Kantor ini bekerja bareng tokoh Indo-Eropa yang condong pro-Jepang, seperti Pieter Frederik Dahler (P2K Stekom, n.d.).
Dahler bahkan mengubah namanya menjadi Amir Dachlan. Ia aktivis lama yang mendorong integrasi komunitas Indo-Eropa dengan penduduk bumiputra. Pendudukan Jepang dilihatnya sebagai peluang untuk mewujudkan gagasan itu.
Namun strategi kooptasi tidak mulus. Banyak pemuda menolak ajakan kerja sama dan tetap setia pada Belanda. Sikap ini dianggap berbahaya.
Di sisi lain, Piet Hein van den Eeckhout yang berkolaborasi dengan Jepang mengambil langkah keras. Ia memprakarsai PAGI, Persaudaraan Asia Golongan Indo, dan menekan para pemuda Indo-Eropa untuk menentukan sikap tegas.
Pro-Jepang atau anti-Jepang, tidak ada jalan tengah. Ketika upaya merangkul gagal, aparat Jepang beralih ke represi.
Pada 27 September 1944, sekitar 80 pemuda ditangkap. Inilah pembuka "Glodok Affair." Gelombang lebih besar datang pada 25 Januari 1945 ketika militer Jepang memerintahkan penangkapan massal terhadap orang Indo-Eropa yang dianggap rawan mengacaukan keamanan.
Aksi serupa terjadi di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Bandung. Jumlah tahanan yang digiring ke Penjara Glodok mencapai 669 orang. Operasi ini termasuk yang terbesar dan jelas menargetkan komunitas Indo-Eropa.