Penulis tumbuh di lingkungan Solo, dengan sosok yang tak terlupakan: Yu Ndari, penjaja jamu gendong. Sejak subuh ia menyiapkan dagangan, menumbuk rempah, mengemas, lalu berkeliling.
Susan-Jane Beers menulis pada 2001 bahwa penjual jamu gendong biasanya membawa 4 sampai 5 jenis jamu, sifatnya preventif untuk stamina. Mereka juga membawa madu untuk mengurangi rasa pahit.
Bukan cuma Yu Ndari. Kedekatan penulis dengan jamu datang dari ayahnya yang berkecimpung di etnobotani.
Sang ayah suka bereksperimen dengan tanaman dan mengajarkan manfaatnya. Daun karuk untuk batuk, mahkota dewa untuk alergi.
Bukan teori belaka. Ia meracik ramuan untuk publik, lalu setiap bulan naik motor ke hutan mengumpulkan bahan. Kegiatan itu sekaligus jadi piknik keluarga.
Kenangan-kenangan ini menyalakan ulang ketertarikan. Suatu ketika penulis meneguk es beras kencur. Rasanya langsung mengantar pulang ke masa kecil.
Sensasi itu mendorong penulis menjadi relawan, belajar meracik jamu secara intensif dari Mak Mitun. Saat produksi berlebih, ramuan dibagikan. Teman-teman menyambut hangat.
Dari situ lahir Temukini pada 2018, dibidani Arahmaiani. Kini Temukini dikelola empat perempuan.
Upaya merawat jamu berlanjut. Ada lokakarya jamu bersama UGM dan WRI Indonesia, mengenalkan ragam rempah untuk menyambung pengetahuan.
Di tempat lain, KUPS Padusi Etnobotani di Padang Janiah yang beranggotakan ibu-ibu petani mengenali tanaman obat dan menyusun basis data berbentuk buku saku untuk generasi berikutnya.
WRI Indonesia mendampingi kelompok ini. Temukini juga mendampingi para ibu untuk diversifikasi produk bernama Ubek Abuih.