Seorang pengawalnya, Andi Dambu, mengobrak-abrik lumbung lalu melempar padi ke tanah. Bagi masyarakat agraris Unra, padi adalah napas hidup. Juga simbol kehormatan.
Dilempar ke tanah berarti penghinaan besar, sesuatu yang sulit dimaafkan (Syamsu A. Kamaruddin, 2012).
Sejak titik itu, ini bukan lagi urusan administrasi. Ini soal harga diri komunal yang diinjak di depan mata. Emosi meledak. Warga lalu berhimpun dalam satu barisan perlawanan.
Respons warga cepat dan serentak. Tanda bahwa akar masalahnya dalam. Kabar penghinaan menyebar dari mulut ke mulut, memantik emosi bersama.
Bukan reaksi spontan belaka, melainkan letupan dari kekecewaan yang menumpuk bertahun-tahun (Kemdikbud, 1985). Pejabat lokal yang semestinya melindungi, justru menindas.
Mereka menjadi alat penekan yang paling efektif, memakai legitimasi kekuasaan Jepang untuk semakin mengurung rakyat. Entah demi kepentingan pribadi, entah sekadar mempertontonkan dominasi feodal. Mungkin keduanya.
Peran elite lokal memang kunci. Andi Mannuhung dan putranya mewakili wajah kekuasaan.
Putranya, Andi Satinja, menjabat Kepala Desa Unra. Keduanya melambangkan struktur feodal yang menurun dari generasi ke generasi (Mahardika & Ramadhan, 2019).
Warisan kuasa seperti ini melahirkan jurang sosial yang dalam antara penguasa dan orang kebanyakan. Dari situlah rakyat Unra bergerak.
Akhirnya, para pejabat itu tewas di Alun-alun Abbolang 'Nge. Tindakan itu dibaca sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap sistem yang mencekik.
Jepang adalah katalis, bukan satu-satunya lawan. Musuh yang mereka hadapi saban hari justru pejabat sebangsa sendiri.