Tan Malaka dan PKI pernah berjalan beriringan. Keduanya sama-sama kiri. Tujuan mereka pun serupa: menumbangkan penindasan kolonial Belanda.
Lalu jalan itu tiba-tiba berpisah tajam. Banyak orang mengira perbedaan ini hanya soal selisih pendapat, mungkin soal kapan waktu yang pas untuk mengangkat senjata.
Nyatanya, retaknya jauh lebih dalam. Ini benturan nalar dengan gairah. Semangat revolusi yang berlari tanpa rem. Cerminan dari konflik ideologis yang besar.
Mulai dari PKI. Menjelang akhir 1925, faksi pimpinan partai mengetuk keputusan final di Konferensi Prambanan: pemberontakan bersenjata segera (Historia.id, 2021).
Kedengarannya nekat. Tapi mereka merasa tercekik. Tekanan pemerintah kolonial makin keras.
Pilihan menyempit. Diam berarti menunggu giliran digilas, sedikit demi sedikit. Melawan menjadi pernyataan sikap.
Risikonya jelas besar, namun bagi mereka pemberontakan adalah keharusan ideologis. Menang atau kalah bisa dipikir nanti. Yang penting api perlawanan menyala untuk menggugah massa.
Keputusan itu lahir dari zaman yang bergolak. Aksi nyata dianggap lebih berguna daripada menunggu sambil berwacana.
Sekarang lihat Tan Malaka. Cara pandangnya lain sama sekali. Ia organisator ulung, lama berkelana, terbiasa menilai situasi dengan kepala dingin.
Baginya, pemberontakan tanpa persiapan itu buta. Sebuah "avonturisme", petualangan bunuh diri.
Kekuatan rakyat belum tersusun rapi. Senjata minim. Jaringan komunikasi antardaerah rapuh. Menghadapi tentara Hindia Belanda jelas berat.