Fintech sudah menempel di keseharian kita. Hampir semua orang memakainya, terutama buat urusan bayar-membayar.
Dompet digital ada di mana-mana. Beli apa saja jadi terasa gampang.
Pindai kode, klik, beres. Kebiasaan belanja ikut bergeser, baik di toko online maupun di kasir fisik. Lama-lama, pola ini jadi standar baru di ekonomi digital.
Belakangan ada bintang baru yang makin sering disebut: paylater. Banyak yang jatuh hati. Data survei bicara jelas: satu dari empat orang memakainya (Laporan Jakpat, 2023).
Pertumbuhannya kencang. Buat sebagian orang, ini terasa sebagai penyelamat, khususnya saat butuh cepat atau ketika gaji serasa mepet.
Biaya hidup naik, sementara kenaikan gaji sering tidak seimbang. Maka paylater dipakai sebagai penyangga arus kas bulanan.
Tapi setiap kemudahan punya dua sisi, seperti pisau yang sangat tajam. Ya, paylater membantu.
Namun pada hakikatnya, itu tetap utang. Dan ini utang konsumtif. Artinya harus dibayar kembali lengkap dengan bunganya.
Telat bayar, siap-siap kena denda. Bunganya pun bukan kecil. OJK menetapkan batas maksimal bunga harian sebesar 0,3% (Otoritas Jasa Keuangan).
Sekilas tampak enteng, tapi kalau menumpuk bisa jadi beban. Masalah kecil bisa membesar.
Berniat cari solusi, malah membuka pintu masalah. Ujungnya, orang bisa terjerat utang.