Mikhail Kalashnikov. Sebuah nama yang berat. Hampir semua orang pernah mendengarnya. Ia pencipta salah satu senapan serbu paling termasyhur di dunia: AK-47.
Banyak yang memujinya sebagai pahlawan. Pahlawan patriotik dari Uni Soviet.
Sebelumnya ia seorang sersan tank, terluka pada Perang Dunia II, lalu menumpahkan seluruh bakat mekaniknya untuk merancang senjata bagi negaranya (History.com, 2019).
Kedengaran mulia? Hanya saja, kisahnya tidak sesederhana itu. Ada sisi lain yang kerap luput. Lebih kusut, lebih manusiawi.
Banyak orang yakin niatnya murni. Ia ingin melindungi tanah air, menahan setiap serbuan musuh.
Tetapi motivasi manusia jarang tunggal. Apakah hanya patriotisme?
Bisa jadi ada ambisi pribadi. Yakni diakui sebagai insinyur, menjadi perancang besar. Bisa juga ada tekanan.
Sistem Soviet saat itu sangat berorientasi militer, mengejar supremasi kekuatan. Dalam kerangka itu, menempatkan Kalashnikov sebagai pahlawan tanpa cela justru menyederhanakan dirinya, juga zamannya.
Di situlah perdebatan lahir, dan warisannya terus dipersoalkan.
Soal desain, AK-47 memang patut diteliti saksama. Rancangannya cerdas. Tahan banting di lumpur, pasir, juga salju.
Penggunaannya mudah, bahkan dengan pelatihan minim. Biaya produksinya rendah. Semua faktor teknis ini memberinya keunggulan.
Namun itu baru separuh cerita. Ada dorongan politik yang sama besarnya (Britannica, 2024). Di era Perang Dingin, Uni Soviet membutuhkan alat yang efektif untuk memperluas pengaruh.
AK-47 menjadi alat yang pas. Mereka memproduksinya dalam jumlah jutaan, lalu menyebarkannya masif ke Blok Timur, negara-negara sekutu, sampai kelompok pemberontak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Tanpa kebijakan tersebut, AK-47 mungkin tidak pernah menjelma ikon. Tidak menjadi simbol global seperti sekarang.
Ada pula mitos seputar proses kelahirannya. Banyak yang membayangkan Kalashnikov bekerja sendirian, terilhami langsung dari medan perang.
Kenyataannya, para ahli senjata modern melihat kemiripan kuat dengan senapan Jerman, Sturmgewehr 44 (The National Interest, 2019).
Ini bukan tuduhan menjiplak. Konsepnya memang sudah ada: peluru kaliber menengah, mekanisme gas piston, dan seterusnya.
Letak kejeniusannya ada pada penyempurnaan. Menggabungkan ide-ide yang berserak menjadi paket yang efisien, tangguh, dan murah.
Ironi paling pahit justru datang darinya sendiri. Berkali-kali ia mengatakan senjatanya dibuat untuk bertahan, bukan menyerang.
Realitas berjalan terbalik. AK-47 berubah menjadi lambang serangan, perang gerilya, pemberontakan, bahkan aksi teror. Namanya hadir di terlalu banyak konflik berdarah.
Menjelang akhir hidup, ia gelisah. Kalashnikov menulis surat kepada pemimpin Gereja Ortodoks Rusia, mengaku mengalami “penderitaan spiritual” yang dalam (The Guardian, 2014).
Ia tersiksa oleh kenyataan bahwa ciptaannya merenggut nyawa. Takdir yang tidak ia kehendaki.
Kisah Kalashnikov bukan hitam putih. Lebih mirip wilayah abu-abu.
Persilangan teknologi, politik, dan nasib. Tentang sebuah ciptaan yang lepas dari genggaman pembuatnya, lalu menentukan jalan hidup banyak orang di seluruh dunia.
***
Referensi:
- Episkopos, M. (2019, 10 Mei). Fact: Did the AK-47 Copy the Nazi StG-44 Assault Rifle?. The National Interest. https://nationalinterest.org/blog/buzz/fact-did-ak-47-copy-nazi-stg-44-assault-rifle-51202
- History.com Editors. (2019, 21 Agustus). Mikhail Kalashnikov. HISTORY. https://www.history.com/news/mikhail-kalashnikov-ak-47-inventor
- The Editors of Encyclopaedia Britannica. (2024, 15 Agustus). AK-47. Britannica. https://www.britannica.com/technology/AK-47
- The Guardian. (2014, 13 Januari). Mikhail Kalashnikov 'in spiritual pain' over AK-47 deaths. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2014/jan/13/mikhail-kalashnikov-spiritual-pain-ak47
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI