Namun itu baru separuh cerita. Ada dorongan politik yang sama besarnya (Britannica, 2024). Di era Perang Dingin, Uni Soviet membutuhkan alat yang efektif untuk memperluas pengaruh.
AK-47 menjadi alat yang pas. Mereka memproduksinya dalam jumlah jutaan, lalu menyebarkannya masif ke Blok Timur, negara-negara sekutu, sampai kelompok pemberontak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Tanpa kebijakan tersebut, AK-47 mungkin tidak pernah menjelma ikon. Tidak menjadi simbol global seperti sekarang.
Ada pula mitos seputar proses kelahirannya. Banyak yang membayangkan Kalashnikov bekerja sendirian, terilhami langsung dari medan perang.
Kenyataannya, para ahli senjata modern melihat kemiripan kuat dengan senapan Jerman, Sturmgewehr 44 (The National Interest, 2019).
Ini bukan tuduhan menjiplak. Konsepnya memang sudah ada: peluru kaliber menengah, mekanisme gas piston, dan seterusnya.
Letak kejeniusannya ada pada penyempurnaan. Menggabungkan ide-ide yang berserak menjadi paket yang efisien, tangguh, dan murah.
Ironi paling pahit justru datang darinya sendiri. Berkali-kali ia mengatakan senjatanya dibuat untuk bertahan, bukan menyerang.
Realitas berjalan terbalik. AK-47 berubah menjadi lambang serangan, perang gerilya, pemberontakan, bahkan aksi teror. Namanya hadir di terlalu banyak konflik berdarah.
Menjelang akhir hidup, ia gelisah. Kalashnikov menulis surat kepada pemimpin Gereja Ortodoks Rusia, mengaku mengalami “penderitaan spiritual” yang dalam (The Guardian, 2014).
Ia tersiksa oleh kenyataan bahwa ciptaannya merenggut nyawa. Takdir yang tidak ia kehendaki.