Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebih dari Sekedar Pemberontakan, Pajak adalah Kontrak Sosial

25 September 2025   01:00 Diperbarui: 20 September 2025   17:16 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan menolak pajak sering diperlakukan seperti kisah kepahlawanan. Versi populernya sederhana saja: rakyat kecil berdiri menghadang penguasa zalim atas nama keadilan.

Terdengar gagah, membakar semangat, dan mudah dijual. Tapi apakah perlawanan pajak sesederhana itu? Apakah motifnya selalu murni dan kolektif?

Kalau kita menengok lebih dalam, jawabannya cenderung tidak. Realitas di lapangan jauh lebih berlapis.

Ini bukan cerita hitam putih. Ada pihak yang menindas, ada juga yang benar-benar tertindas.

Masalahnya, cara pandang yang beredar sering keliru. Semua gerakan antipajak diberi label mulia, padahal bisa saja di belakangnya ada agenda lain.

Tidak sedikit penolakan pajak yang digerakkan elit atau korporasi besar. Tujuannya jelas, menghindari tanggung jawab sosial.

Padahal pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Dari sinilah layanan publik yang esensial dibiayai.

Secara fungsi, pajak memegang empat peran penting: anggaran, pengaturan, stabilitas, dan redistribusi pendapatan.

Begitu orang kaya menghindari pajak, rangkaian fungsi ini pincang. Terutama fungsi redistribusi yang bisa jebol total.

Dampaknya terasa pada layanan vital yang macet. Sekolah negeri, rumah sakit umum, juga infrastruktur dasar ikut terpukul.

Yang paling rugi tentu kelompok miskin yang sangat bergantung pada fasilitas publik tersebut (Gramedia, 2022).

Sejarah mencatat banyak pemberontakan berangkat dari isu pajak. Dari era Romawi kuno, pemberontakan petani di Inggris, sampai revolusi besar di Amerika dan Prancis.

Namun menyamakan semuanya adalah penyederhanaan berlebihan. Setiap gerakan lahir dari konteksnya sendiri. Pemicu dan tujuannya tidak selalu sama.

Di Inggris, tekanan terhadap raja melahirkan Magna Carta tahun 1215, digerakkan oleh kaum bangsawan yang menuntut pembatasan pungutan sewenang-wenang (Wikipedia).

Kasus ini berbeda dengan Revolusi Prancis yang meledak karena sistem pajak timpang. Kaum bangsawan dan gereja nyaris bebas beban, sementara rakyat jelata menggendong seluruhnya.

Motif dan skalanya berbeda, maka dampaknya pun tidak bisa dipukul rata.

Cara pandang yang lebih adil atas pajak melihatnya sebagai kontrak sosial (DDTC News, 2020). Kesepakatan tak tertulis yang menopang negara modern.

Warga menyerahkan sebagian pendapatannya dalam bentuk pajak. Negara, sebagai imbalan, wajib memberi perlindungan, keamanan, keadilan, dan layanan publik yang layak untuk semua warga (UNAIR NEWS, 2022).

Korupsi yang merajalela adalah bentuk pengkhianatan. Demikian pula pemborosan uang negara atau kebijakan yang terang-terangan tidak adil.

Semuanya merusak kepercayaan. Saat itu terjadi, wajar jika warga merasa dikhianati karena pajak yang mereka bayarkan tidak kembali sebagai manfaat, melainkan mengalir memperkaya segelintir elite.

Jadi pertanyaannya bukan semata membayar atau tidak. Yang lebih pas adalah, apa yang kami dapat dari pajak?

Kita memang mudah meromantisasi pemberontakan. Melawan ketidakadilan adalah hak, bahkan sering tak terhindarkan secara historis.

Tetapi kita juga perlu jujur menempatkan pajak. Pajak adalah tulang punggung negara modern (Direktorat Jenderal Pajak).

Tanpa pendapatan pajak, negara lumpuh. Tidak ada penjaga perbatasan, tidak ada polisi yang menjaga ketertiban, tidak ada pengadilan yang menegakkan hukum.

Gerakan antipajak yang membabi buta bisa merusak fondasi negara. Jika fondasi itu runtuh, semua orang menanggung akibatnya.

Yang tersisa hanya kekacauan. Tidak ada yang diuntungkan.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun