Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sekedar Bertahan atau Benar-Benar Kuat? Masa Depan Pertanian Kita

24 September 2025   19:00 Diperbarui: 20 September 2025   17:18 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tradisi panen padi. (iStockphoto/TommyIX via Kompas.com)

Sektor pertanian Indonesia kembali jadi bahan pembicaraan. Setelah melewati badai pandemi beberapa tahun lalu, saat banyak sektor ekonomi jatuh. Pertanian justru tetap tegak.

Bukan hanya bertahan, sektor ini mencatat pertumbuhan positif. Data BPS tahun 2020 mengonfirmasi hal itu. Banyak orang menyebutnya pahlawan, penyelamat ekonomi nasional di masa yang sangat sulit (Katadata.co.id, 2020).

Kabar ini jelas menggembirakan. Pertanian menunjukkan daya tahan yang luar biasa.

Tapi ada pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah kemampuan bertahan itu sama dengan kekuatan sejati?

Mungkin kita perlu menengok lebih dalam. Pertumbuhan positif memang fakta, tetapi penyebabnya tidak sesederhana yang tampak di permukaan.

Saat krisis, banyak pabrik tutup dan kantor mengurangi karyawan. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, terutama di kota-kota besar.

Tanpa banyak pilihan, mereka pulang ke kampung. Banyak yang kembali ke sawah keluarga.

Akibatnya, jumlah pekerja di pertanian naik. Data angkatan kerja merekam pergeseran ini (BPS, 2020).

Dalam situasi itu, pertanian berfungsi sebagai jaring pengaman sosial. Ia menampung mereka yang terlempar dari ekonomi modern.

Jadi pertumbuhan yang terlihat lebih mencerminkan peran sosialnya, bukan lonjakan produktivitas.

Pemerintah kerap menakar keberhasilan dari swasembada beras. Swasembada pangan itu penting, bagian dari kedaulatan negara.

Namun jika fokusnya hanya beras, itu bisa berbalik jadi masalah. Kita berisiko mengabaikan komoditas pangan lain yang sama pentingnya.

Padahal keberagaman pangan adalah kunci gizi seimbang, dan gizi seimbang menyangkut semua lapisan masyarakat.

Ada juga soal kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani, indikator yang sering dipakai BPS, dianggap patokan.

Angka NTP di atas 100 berarti petani untung karena pendapatan lebih besar daripada pengeluaran. Hanya saja, istilah untung ini perlu dicermati.

Sedikit untung bukan berarti hidup sejahtera. Banyak petani ber-NTP di atas 100, tetapi hidupnya masih pas-pasan. Jauh dari makmur.

Sejarah kita menunjukkan isu pangan amat sensitif. Harga yang melambung bisa memicu gejolak sosial.

Ada yang mengaitkannya dengan jatuhnya pemerintahan di masa lalu karena pengendalian harga pangan bermasalah.

Benar, pangan adalah urat nadi bangsa. Tetapi menyederhanakan dinamika politik hanya ke satu faktor jelas tidak tepat. Banyak variabel lain ikut bermain.

Cara pandang kita perlu berubah. Jangan melihat pertanian sebagai lumbung kemiskinan atau sekadar sektor cadangan saat krisis.

Pandemi harusnya jadi pelajaran mahal. Potensi pertanian sangat besar, mungkin selama ini kita abaikan.

Ia bukan sektor tertinggal. Ia fondasi ekonomi dan sosial kita.

Untuk benar-benar kuat dan berkelanjutan, pertanian butuh lebih dari pujian. Dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang nyata. Bukan hanya bantuan sementara seperti subsidi pupuk.

Petani perlu akses teknologi modern dan jaminan pasar yang adil. Pasar harus transparan dan berpihak.

Indonesia juga butuh generasi baru petani yang melihat masa depan cerah di sektor ini. Tanpa itu, ketangguhan kemarin hanya akan jadi cerita singkat.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun