Papan "Dilarang Menginjak Rumput" sering muncul di mana-mana. Di banyak taman kota, malah.
Setiap kali terlihat, debatnya ikut tumbuh. Ada yang merasa terganggu, bahkan terkekang.
Taman, kata mereka, adalah ruang publik yang seharusnya bebas. Warga mestinya bisa bersentuhan langsung dengan alam.
Bukan sekadar memandang dari jauh. Larangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang memisahkan manusia dari hijaunya bumi.
Kalau dipikir, fungsi taman jelas sekali. Ia dibuat supaya dipakai.
Dinikmati. Hidup. Anak-anak berlarian. Keluarga gelar tikar untuk piknik. Pekerja duduk di rumput saat jam istirahat.
Semua itu butuh akses ke hamparan hijau. Begitu akses ditutup, taman kehilangan esensinya.
Ia berubah jadi diorama di museum. Indah, ya, tapi jangan disentuh. Wajar kalau banyak orang keberatan. Ruang publik, pada akhirnya, ada untuk warganya.
Tapi ada sisi lain yang sering luput. Bukan semata perkara kepercayaan pada pengunjung.
Seringkali soal yang lebih membumi: biaya operasional dan daya tahan taman. Merawat taman kota itu tidak murah, apalagi di kota besar yang padat.
Anggarannya kerap disorot karena bisa besar sekali. Jakarta pernah jadi contoh perdebatan soal ini (Republika, 2020).