Kisah umbi di Indonesia memang seru. Ada tiga tokoh utama yang sering kita jumpai. Ubi, singkong, dan kentang.
Ketiganya bukan tanaman asli sini. Mereka datang dari benua Amerika dan sudah dikenal di Nusantara sejak berabad-abad lalu (Kompas.com, 2022).
Sekarang, mereka menyatu dengan budaya makan kita, menempel di dapur, dan rasanya sulit dipisahkan.
Sejarah mereka bukan sekadar soal bahan pangan. Ini cerita perubahan selera, penyesuaian ekonomi, juga pergeseran status sosial yang dinamis.
Perjalanan ini menunjukkan betapa terbukanya budaya kita terhadap pendatang. Tak heran kalau ketiganya jadi kesayangan banyak orang.
Dulu, garis pemisahnya terasa tebal. Kentang identik dengan orang kota, modern, dekat dengan restoran cepat saji dan gaya hidup urban.
Sementara di sisi lain, singkong dan ubi jalar dilabeli makanan desa, tradisional, anak cucu masyarakat agraris (Kompas.com, 2022).
Citra mereka sederhana, kadang dianggap kuno. Tapi apakah batas itu masih berlaku sekarang? Rasanya tidak. Garisnya makin kabur dan sulit dipertahankan.
Coba lihat sekitar. Di kafe yang lagi ngetren, keripik singkong hadir dengan rasa premium dan harga yang tidak lagi murah. Anak muda suka.
Ubi Cilembu panggang dengan rasa madunya lumer jadi hidangan penutup favorit. Kentang goreng beku? Mudah ditemui, bahkan di warung kecil di pelosok desa.
Selera kota dan desa saling menyeberang. Letak geografis tidak lagi menentukan pilihan lidah. Batasan lama itu pelan-pelan kehilangan relevansi.