Pesona Gunung Bromo seperti tak ada matinya. Sunrise-nya selalu jadi buah bibir. Magnet buat para pemburu momen.
Sejak masa kolonial, pelancong Eropa rela berjalan jauh. Perjalanannya berat, hanya demi sekilas momen magis itu (Indonesiana.id, 2021).
Dari sana nama Bromo dibangun sebagai destinasi premium. Tapi pengalaman dulu jelas tidak sama dengan sekarang.
Menyamakan keduanya terlalu menyederhanakan. Ada jurang lebar di antaranya.
Dulu Bromo terasa seperti surga yang amat eksklusif. Sekarang ia berubah jadi tujuan wisata massal.
Di masa kolonial, pergi ke Bromo adalah sebuah kemewahan. Destinasi ini eksklusif betul. Hanya elite Eropa yang sanggup menjangkaunya. Mereka punya uang dan tenaga ekstra (KEK).
Catatan sejarah menyarankan rute lewat Tosari (Tirto.id, 2023). Perjalanan biasanya dimulai dari Surabaya. Naik kereta api lalu berganti kereta kuda. Berjam-jam menempuh medan terjal yang terus menanjak.
Wisata ke Bromo kala itu terasa seperti ekspedisi. Petualangan mahal yang sekaligus jadi penanda status.
Penginapan pun sangat terbatas. Cermin betapa terbatasnya akses waktu itu.
Kini peta pariwisata Bromo berubah total. Akses makin mudah dengan kendaraan modern. Pintunya terbuka lebar untuk siapa saja.
Pilihan akomodasi beragam. Dari homestay sederhana sampai hotel berbintang.