Kebijakan ini ditopang bantuan Amerika, baik finansial maupun teknis, dalam porsi yang besar (Universitas Indonesia). Konsekuensinya, hak buruh dan proses demokratis sempat dikesampingkan demi mengejar target industri yang ambisius.
Secara ekonomi, model ini bekerja. Secara sosial dan politik, ia meninggalkan luka yang dalam.
Vietnam pun melesat setelah mengubah haluan. Reformasi bernama Doi Moi dimulai pada 1986 (Wikipedia).
Perombakan ini mengganti ekonomi terpusat yang kaku menjadi ekonomi pasar berorientasi sosialis. Pintu investasi asing dibuka lebar, sektor swasta diberi ruang tumbuh (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Sebagai negara satu partai, Vietnam punya keunggulan institusional. Pemerintah bisa menyusun rencana jangka panjang dan menjalankannya secara konsisten tanpa gangguan siklus pemilu.
Indonesia tidak memiliki keuntungan yang sama. Indonesia memilih demokrasi yang dinamis, dan jalannya kerap berliku.
Di sisi lain, Indonesia dikaruniai sumber daya alam melimpah. Ironisnya, anugerah ini sering berubah jadi jebakan yang dikenal sebagai kutukan sumber daya alam (Institute for Essential Services Reform).
Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah seperti minyak, gas, dan hasil tambang membuat perekonomian rentan terhadap gejolak harga global. Dorongan untuk membangun manufaktur pun cenderung melemah, tidak sekuat di Korea Selatan atau Vietnam.
Dua negara itu relatif miskin sumber daya alam, dan teori semacam ini sudah lama dibahas di berbagai literatur (Wikipedia). Jadi bukan sekadar urusan pilihan kebijakan, melainkan problem struktural yang sulit dihindari.
Tidak adil memberi cap Indonesia kalah. Lebih masuk akal melihatnya dari sudut lain. Indonesia berjalan di jalur pembangunan yang khas, dengan tantangan yang unik dan kompleks.
Menjaga persatuan dan stabilitas saja sudah prestasi besar. PDB per kapita bukan satu-satunya ukuran, begitu pula rasio ekspor. Kesuksesan bangsa punya banyak sisi, dan tidak semua tercermin di angka-angka.