Sejarah Priangan sering bergerak dengan lompatan besar. Cianjur pernah berada di puncak, lalu sinarnya pelan meredup.
Bandung kemudian naik menjadi pusat kuasa. Kedengarannya sederhana, seperti persaingan antarkota.
Padahal kalau dilihat lebih dekat, ceritanya jauh lebih berlapis. Bukan hanya soal dua kota, melainkan tentang pergeseran lempeng kekuasaan, ekonomi, dan siasat kolonial.
Kebangkitan Cianjur muncul sebagai fenomena tersendiri. Kabupaten ini mengubah hamparan lahannya menjadi lumbung kopi yang produktif untuk kepentingan VOC (Jurnal Pustaka Unpad).
Hubungan dagang itu membawa untung besar, sementara posisi politik sang bupati ikut terangkat. Apakah Cianjur kuat sendirian? Mungkin tidak.
Saat itu Mataram tengah melemah, pengaruhnya di Pasundan berada di titik rendah. Konflik internal ditambah tekanan VOC kian menipiskan daya tawarnya (Kompasiana, 2022).
Kekosongan inilah yang diisi Cianjur dengan cerdik. VOC pun membutuhkan mitra lokal yang stabil untuk memasok komoditas. Maka kebangkitan Cianjur lahir dari kombinasi yang pas: kejelian membaca peluang ekonomi dan momentum politik yang tepat.
Lalu mengapa ibu kota pindah? Banyak catatan menunjuk satu nama: Andreas de Wilde. Seorang tuan tanah Eropa yang kaya, dengan kepentingan bisnis di Cianjur. Konon dia yang mengusulkan pemindahan itu.
Tapi menaruh semua sebab pada satu orang jelas terlalu sederhana. Pemerintah kolonial bekerja lewat mesin birokrasi yang ruwet, dan keputusan besar selalu punya alasan strategis.
Pemindahan ke Bandung mencerminkan cara berpikir yang berubah. Prioritas mereka bergeser, dari sekadar memeras sumber daya menjadi membangun kendali administrasi yang kuat.
Bandung menawarkan lokasi di tengah wilayah, sekaligus berada di lintasan Jalan Raya Pos. Semua ini cocok dengan evolusi logika penjajah dari eksploitasi menuju administrasi (Kompas.com, 2022).