Kota tumbuh cepat. Warganya ikut berubah. Jalan yang dulu lengang kini sesak. Riuh oleh lalu lintas dan aktivitas harian.
Pembangunan infrastruktur baru terasa tak terelakkan. Semacam jawaban atas tuntutan zaman.
Tapi modernisasi sering menekan warisan masa lalu. Warisan itu diam, menunggu keputusan.
Bangunan cagar budaya menjadi saksi, sekaligus pihak yang kerap terancam. Di sinilah muncul dilema.
Bandung sedang mengalaminya. Sebuah jalan layang modern dirancang, dan rutenya bersinggungan dengan bangunan bersejarah. Lalu, apa yang perlu diprioritaskan?
Di Bandung, persoalan ini bukan wacana. Ia nyata pada proyek Jalan Layang Ciroyom. Secara tujuan, proyek ini sangat strategis. Ia mendukung akses ke Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan diharapkan mengurai kemacetan yang berat (Kompas.com, 2023).
Masalahnya, rencana trase itu mengancam bagian depan RPH Andir, sebuah kompleks bersejarah peninggalan era kolonial (Tribun Jabar, 2023).
Banyak orang akan merespons dengan kisah tentang pentingnya sejarah, lengkap dengan rujukan undang-undang.
Argumen itu kuat. RPH Andir bukan sekadar bangunan tua. Ia berstatus Cagar Budaya Peringkat A, berdasarkan Perda Kota Bandung (Perda Kota Bandung, 2018).
Pandangan para ahli jelas: cagar budaya adalah satu kesatuan. Mengubah sebagian kecil saja bisa merusak keaslian, juga menipiskan makna kesejarahannya.
TACB Kota Bandung sudah menyatakan penolakan. Mereka menentang rencana penggusuran, karena nilai otentik RPH Andir akan terganggu. Terutama bila bagian depannya dipotong (Detik Jabar, 2023).