Padang sering dijadikan contoh. Kota ini berani menantang raksasa jaringan minimarket nasional seperti Indomaret dan Alfamart.
Di banyak kota, gerai mereka ada di setiap sudut. Di Padang, pemandangan itu tidak ada. Hal yang sama berlaku di Sumatera Barat. Pemerintah daerah mengambil sikap tegas: tidak memberi izin operasi bagi raksasa ritel tersebut.
Alasannya sederhana tapi kuat, yaitu komitmen melindungi warung-warung kecil dari persaingan yang tidak seimbang (Detik Finance, 2023). Tujuannya jelas berpihak pada ekonomi rakyat.
Sekilas, kebijakan protektif ini terlihat berhasil. Data resmi mendukungnya. BPS Kota Padang mencatat tren positif, jumlah usaha bertambah, terutama skala kecil, setelah kebijakan berjalan (Badan Pusat Statistik Kota Padang).
Banyak yang menyebutnya kemenangan ekonomi rakyat, bukti kekuatan lokal bisa bertahan dari gempuran modal besar. Ceritanya terdengar heroik. Tapi apakah sesederhana itu? Mungkin tidak.
Pertama, apakah kebijakan pemerintah satu-satunya pahlawan? Kita belum bisa yakin. Ada faktor budaya yang mungkin sama pentingnya.
Masyarakat Minang punya ikatan komunal yang kuat. Mereka cenderung berbelanja di warung tetangga. Atau di pasar. Karena ada kedekatan personal. Ada obrolan hangat yang sulit ditiru minimarket modern.
Warung lokal bisa bertahan bukan semata karena aturan. Ttapi karena memang dicintai. Warlok adalah bagian dari ritme hidup warganya.
Kedua, banyaknya warung belum tentu berarti semua sejahtera. Bayangkan kue berukuran sama. Sementara yang makan makin banyak.
Setiap orang kebagian lebih kecil. Pasar bekerja dengan logika serupa.
Warung bisa bertambah. Tapi jumlah pembeli belum tentu melonjak. Persaingan antarsesama warung kian ketat. Margin tiap warung bisa tergerus.