Dunia digital sudah menyatu dengan hidup anak-anak masa kini. Di tengah lautan platform interaktif, Roblox jadi sorotan.
Wajahnya ceria. Fiturnya kreatif. Tapi di balik itu ada manfaat sekaligus risiko.
Wajar kalau debat muncul. Lebih baik diblokir total, atau justru didampingi orang tua secara aktif?
Dorongan untuk memblokir Roblox bukan tanpa alasan. Kekhawatiran pemerintah berkisar pada konten kekerasan dan materi tak pantas yang berpotensi merugikan anak.
Menurut pemberitaan, Menteri Sekretaris Negara, Prasetiyo Hadi, bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, sudah membahas opsi pemblokiran Roblox. Karena dinilai bisa menyebarkan konten kekerasan yang tidak layak untuk anak (Detiknews, 2025).
Keresahan ini juga terjadi di banyak negara lain. Riset online menunjukkan Tiongkok, Arab Saudi, Turki, Kuwait, Qatar, dan Oman telah memblokir atau membatasi akses demi melindungi anak dari ancaman online (Viva.co.id, 2025).
Ancaman yang paling nyata adalah interaksi dengan pengguna dewasa yang menyamar sebagai anak.
Laporan The Guardian menyingkap kasus grooming dan pelecehan seksual terhadap anak. Di mana pelaku memanfaatkan fitur permainan peran untuk mendekati korban.
Dan menyisipkan elemen seksual terselubung. Masalah ini bahkan berujung pada tuntutan hukum di Amerika Serikat (The Guardian, 2025).
Ada isu besar lain: moderasi konten kewalahan. Jutaan gim yang dibuat pengguna membuat pengawasan sangat sulit. Sistem otomatis tidak selalu akurat.
Sementara jumlah moderator manusia tidak sebanding dengan laporan yang membeludak. Celah pun terbuka, dan konten berbahaya bisa lolos dari filter (TRT Global, 2024).