Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Memahami Hyperpop Sebagai Simbol Perlawanan Identitas

12 September 2025   01:00 Diperbarui: 3 September 2025   23:40 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balter at 2025 SXSW London. (Wikimedia.org)

Bagi banyak orang, hyperpop terdengar ganjil. Musiknya bising, nadanya suka meloncat tiba-tiba. Vokalnya kerap menjerit tinggi. Sekilas, rasanya seperti lelucon, seolah dibuat asal.

Tapi di balik hiruk-pikuk itu ada cerita penting. Hyperpop lama dianggap sebagai rumah bagi komunitas queer, tempat mereka bisa berekspresi sebebas-bebasnya (Them.us, 2021).

Gagasannya memang kuat. Estetikanya sengaja kacau, seperti menabrak aturan yang selama ini memegang musik pop. Pop biasanya rapi, strukturnya teratur, mudah ditebak. Hyperpop justru kebalikannya.

Banyak yang melihatnya sebagai bentuk perlawanan terhadap norma yang kaku. Terutama yang berkaitan dengan gender dan identitas. 

Kesesuaiannya terasa wajar karena banyak pelopornya adalah musisi queer. Contohnya mendiang SOPHIE, produser trans yang visioner (Vulture, 2021).

Ada juga Charli XCX, sering dianggap ikon komunitas. Gerakan awalnya berpusat di label PC Music milik A. G. Cook. Karyanya menjadi fondasi genre ini (Pitchfork, 2016).

Lalu muncul pertanyaan. Apakah kebisingan itu lahir dari perlawanan? Atau justru kebalikannya? Mungkin tren suaranya sudah lebih dulu muncul, didorong oleh lompatan teknologi dan budaya internet.

Komunitas queer kemudian menemukannya, merasa inilah suara yang paling pas, yang bisa mewakili perasaan mereka. Mereka memberinya ruh dan makna baru. Teknologi menyediakan kanvas kosong. Komunitas queer melukis cerita di atasnya.

Sekarang hyperpop mulai menjejak panggung arus utama. Pengaruhnya terlihat di banyak tempat. Beberapa grup K-Pop mengadopsi estetikanya. Aespa, misalnya, terang-terangan terinspirasi hyperpop (NME, 2021).

Di satu sisi ini kabar baik, representasi queer makin terlihat. Di sisi lain, ada risikonya. Saat gerakan menjadi tren, pesannya bisa memudar. Apakah pendengar baru paham maknanya, atau hanya menikmati gayanya? Identitas perlawanan itu bisa terkikis, berubah menjadi sekadar komoditas musik.

Ada sudut pandang lain. Hyperpop bukan cuma soal perlawanan gender. Ia juga cermin zaman. Batas-batas makin kabur, termasuk batas antar genre. Pop, metal, dan EDM bisa bercampur jadi satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun