Kita sering membaca profil mahasiswa "bintang kelas". Daftar kemenangannya panjang. Lemari pialanya penuh. Dinding kamarnya sesak oleh sertifikat.
Ceritanya terasa keren, bahkan menyemangati. Budaya kampus pun terus mendorong mereka ikut lomba (Kemahasiswaan UI).
Lama-lama, profil seperti itu dianggap standar sukses. Tapi coba tahan sebentar. Ada pertanyaan yang perlu diajukan: sebenarnya apa makna semua prestasi itu? Bagi masa depan mereka. Bagi dunia kerja yang menanti.
Banyak orang berasumsi, menang lomba otomatis berdampak besar. Juara hari ini, besok bikin gebrakan.
Kenyataannya tidak selalu. Lomba memang wadah yang bagus. Ada banyak keterampilan yang terasah di sana. Mahasiswa belajar memecahkan masalah, bekerja dalam tim, dan membangun percaya diri (Student Competitions).
Hanya saja, ide yang dipresentasikan di panggung tidak sama dengan produk yang hidup di pasar. Sering kali, prototipe pemenang berhenti di meja juri. Bukan karena idenya buruk, melainkan karena yang lebih berat adalah eksekusi.
Implementasi, konsistensi, dan daya tahan. Dunia nyata jauh lebih berantakan. Kemenangan lomba itu langkah awal, bukan tiket pasti ke karier gemilang.
Kisah sukses pun jarang ditampilkan utuh. Yang ditulis biasanya versi mulusnya saja. Menang di sini, berhasil di sana. Padahal proses belajar yang sebenarnya penuh belokan.
Ada ide yang ditolak berkali-kali. Ada proyek yang mandek. Ada riset yang mentok. Bagian-bagian seperti ini hampir tak pernah muncul di halaman cerita. Akibatnya, gambaran kita meleset. Tidak realistis.
Dampaknya bisa kurang sehat: mahasiswa lain merasa minder, seolah mereka gagal padahal masih berproses. Padahal belajar dari gagal itu penting sekali. Itu cara paling nyata untuk bangkit dan membangun mental yang kuat (CDC UINSSC).
Narasi kemenangan sering menutupi bab ini, sehingga pelajaran soal resiliensi justru menguap.