Orang selalu punya pendapat soal tambang. Ada yang yakin tambang membawa harta dan janji kesejahteraan untuk warga. Ada juga yang ragu karena melihat kerusakan di mana-mana.
Jadi pertanyaannya masih itu-itu saja: benarkah tambang sumber kesejahteraan rakyat, atau hanya ilusi yang sengaja diciptakan?
Di atas kertas semuanya terlihat rapi. Indonesia punya dasar hukum yang jelas, Undang-Undang Minerba. Tujuannya mengelola sumber daya alam demi kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat.
Ketika tambang dibuka, investasi masuk. Warga lokal dapat pekerjaan. Ekonomi daerah terasa lebih hidup. Pemerintah pusat ikut senang karena pendapatan naik lewat Dana Bagi Hasil.
Data pemerintah menunjukkan DBH menjadi sumber pemasukan penting bagi daerah dan dipakai untuk membangun infrastruktur (DJPK Kemenkeu; Portal Data Ekstraktif ESDM, 2024). Kedengarannya masuk akal, kan? Siapa yang menolak daerahnya maju.
Masalahnya, praktik di lapangan sering tidak seindah teori. Keuntungan ekonomi yang dijanjikan cepat menguap. Manfaat paling terasa hanya di awal.
Setelah itu, sumber daya habis. Yang tertinggal justru masalah. Lingkungan rusak berat. Hutan yang dulu hijau berubah jadi lubang. Deforestasi terjadi, keanekaragaman hayati ikut terpukul. Sungai yang jernih tercemar limbah berbahaya.
Laporan kasus pertambangan membuktikan pola ini (TUK Indonesia). Ini bukan urusan sepele. Kerusakannya jangka panjang dan biaya pemulihannya mahal. Tak jarang dibiarkan begitu saja.
Dampaknya kembali ke masyarakat lokal. Ada yang sempat bekerja, tapi banyak yang kehilangan sumber penghidupan utama. Petani kehilangan lahan subur. Nelayan kehilangan ikan di sungai. Kesehatan ikut terancam oleh polusi udara dan air (CERAH).
Fenomena ironis ini punya istilah: kutukan sumber daya alam. Para ekonom mempopulerkannya (Article33, 2017).
Singkatnya, daerah kaya sumber daya bisa saja warganya tetap terjebak dalam kemiskinan. Kekayaan alam tidak otomatis membawa berkah.