Kisah Sega sering diceritakan dengan sederhana. Mereka adalah raksasa yang kalah perang. Lalu mereka banting setir jadi pembuat game.
Narasi ini terdengar sangat heroik. Seperti sebuah strategi bisnis yang cerdas.
Namun, kenyataannya mungkin jauh lebih rumit. Keputusan Sega meninggalkan bisnis konsolnya. Keputusan itu bukanlah sebuah pilihan strategis.
Itu bukanlah buah dari sebuah visi. Itu adalah sebuah keharusan mutlak. Itu adalah satu-satunya jalan keluar tersisa.
Pada akhir tahun 2001, Sega di ujung tanduk. Keuangan perusahaan menjadi sangat buruk. Mereka rugi finansial selama bertahun-tahun.
Utang mereka menumpuk di mana-mana. Konsol terakhir mereka adalah Dreamcast. Dreamcast gagal total di pasaran. Padahal konsol itu sangatlah inovatif.
Ini bukanlah sebuah kegagalan biasa. Ini adalah puncak dari kesalahan fatal. Jadi pengumumannya bukan manuver cerdik.
Itu satu-satunya cara untuk bertahan. Agar mereka tidak bangkrut sepenuhnya. Mereka tidak memilih jalan baru. Mereka terpaksa mengambilnya untuk hidup (Wikipedia).
Perjalanan setelah itu juga tidak mudah. Banyak orang mengira Sega langsung sukses. Mereka sukses sebagai pengembang perangkat lunak.
Anggapan ini ternyata sangat keliru. Prosesnya terasa sangat sulit berliku. Sega butuh waktu bertahun-tahun untuk stabil. Mereka merilis banyak game yang gagal.
Contohnya adalah seri game Sonic. Kualitasnya sering naik turun sangat drastis. Misalnya adalah game Sonic the Hedgehog (2006).