Kisah Cut Zahara Fona sangatlah unik. Ini bukan sekadar cerita penipuan biasa. Ini adalah sebuah cermin besar bagi bangsa.Â
Cermin itu memantulkan banyak kondisi sosial. Ia juga memantulkan kondisi politik bangsa. Serta kondisi psikologis pada masanya.Â
Pada era 1970-an terjadi suatu peristiwa. Seorang wanita muda muncul dari Sigli. Wanita itu bernama Cut Zahara Fona. Ia berhasil menciptakan kehebohan secara nasional.Â
Ia mengaku mengandung seorang bayi ajaib. Bayi itu menurutnya bisa berbicara langsung. Dia juga bisa melantunkan azan merdu. Bahkan bisa membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Semua dari dalam kandungan (Tirto.id, 2025).
Pengakuan luar biasa ini menyebar cepat. Berita ini berawal dari mulut ke mulut. Lalu segera diliput oleh koran radio.Â
Sensasinya sungguh tak bisa lagi terbendung. Masyarakat dari berbagai lapisan pun datang. Mereka sangat penasaran dengan fenomena itu. Mereka ingin menjadi saksi sebuah keajaiban.Â
Banyak orang rela mengantre sangat lama. Mereka hanya ingin menempelkan telinga mereka. Telinga ditempelkan ke perut Zahra Fona.Â
Mengapa publik bisa begitu mudah percaya? Jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. Mereka bukanlah orang-orang naif atau bodoh.
Kita perlu melihat konteks zaman itu. Masyarakat Indonesia hidup di bawah rezim. Rezim itu adalah Orde Baru. Informasi saat itu sangat dikontrol pemerintah. Kehidupan terasa begitu terpusat dan monoton.Â
Rakyat mendambakan sesuatu yang sungguh berbeda. Mereka sangat membutuhkan harapan dan cerita baru. Sebuah keajaiban bisa memberi warna hidup. Narasi bayi ajaib mengisi kekosongan itu (Kompas.com, 2023).Â
Fenomena ini bahkan berkembang lebih jauh. Muncul ramalan bayi itu Imam Mahdi. Ini menunjukkan kerinduan spiritual yang dalam. Kerinduan sosial di tengah masyarakat luas. Jadi ini bukan tentang suatu kebodohan. Ini tentang kebutuhan jiwa manusia.