Sebuah peraturan pemerintah sering disebut pangkal masalah. Peraturan itu adalah Peraturan Presiden Nomor 10. Tahunnya 1959 (Badan Pemeriksa Keuangan, 1959).Â
Aturan ini menjadi sebuah babak sangat kelam. Nasib buruk bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Semua terjadi di era Demokrasi Terpimpin.Â
Akibatnya, banyak dari mereka diusir paksa. Mereka diusir dari semua tempat tinggalnya. Toko juga sumber pencaharian mereka dihancurkan.Â
Namun, hukum bukanlah satu-satunya penyebab kebencian. Sejarah menunjukkan ceritanya jauh lebih rumit. PP 10/1959 adalah puncak dari masalah. Masalah itu sudah lama sekali menumpuk.
Nama resmi aturan itu sangatlah panjang. Aturan melarang usaha dagang kecil milik asing. Juga melarang usaha eceran bersifat asing.Â
Larangan ini berlaku di luar ibu kota. Ini juga berlaku di luar daerah swatantra. Daerah tingkat I dan II juga termasuk. Aturan ini melarang keras semua pengusaha asing. Mereka dilarang berdagang eceran di desa.
 Tujuannya bagian dari program ekonomi besar. Program itu digagas oleh pemerintah saat itu. Nama programnya adalah "Indonesianisasi". Pemerintah ingin kendali ekonomi dipegang pribumi.Â
Kebijakan ini menjadi sangat efektif sekali. Status warga Tionghoa saat itu tidak menentu. Perjanjian dwikewarganegaraan dengan Tiongkok berjalan lambat. Implementasinya diatur oleh peraturan pemerintah lain (Badan Pemeriksa Keuangan, 1958).Â
Akibatnya, mereka terjebak dalam limbo hukum. Mereka jadi sangat mudah dicap orang asing.
Namun, peraturan ini ibarat sebuah api. Api disulut di atas tumpukan sekam kering. Sekam itu adalah kebencian dan kecurigaan.Â
Sentimen ini sudah lama sekali mengakar. Jauh sebelum tahun 1959 sentimen itu ada. Sentimen anti-Tionghoa hidup di masyarakat. Ini warisan politik pecah belah kolonial (Historia.id, 2018).Â