Di balik kemeriahan itu ada filosofi. Filosofi itu sangatlah dalam maknanya. Ogoh-ogoh melambangkan wujud Bhuta Kala. Bhuta Kala kekuatan alam negatif (Wikipedia, 2024).Â
Kekuatan itu juga sangatlah merusak. Bhuta Kala diyakini berasal Panca Bhuta. Panca Maha Bhuta lima elemen alam. Terdiri dari Pertiwi atau unsur tanah. Lalu Apah atau unsur air (Wikipedia, 2024).Â
Kemudian Teja yaitu merupakan unsur api. Serta Bayu yang berarti unsur angin. Terakhir Akasa yaitu merupakan unsur ruang. Kelima elemen bisa jadi sumber hidup.Â
Namun bisa menjelma menjadi kekuatan buruk. Kekuatan yang marah dan sangat menghancurkan. Ogoh-ogoh dibuat untuk menetralisir kekuatan. Kekuatan negatif ini harus dinetralkan. Agar alam semesta kembali seimbang (Radar Nganjuk, 2024).
Pawai ogoh-ogoh bagian ritual Pengerupukan (CNBC Indonesia, 2023).Â
Ritual ini diawali upacara Tawur Kesanga. Ini sebuah upacara suci yang penting. Untuk memberi sesajen pada Bhuta Kala. Harapannya kekuatan negatif dapat ternetralisir (detik.com, 2023).Â
Setelah upacara, pawai ogoh-ogoh dimulai. Ia diarak keliling pelosok desa. Dengan iringan gamelan baleganjur meriah. Serta teriakan semangat dari para pengarak.Â
Mereka seolah merasa sudah menang. Telah menang atas segala hawa nafsu. Juga atas segala macam sifat buruk (Kumparan, 2021).
Puncak pawai adalah pembakaran ogoh-ogoh. Itu menjadi simbol pemusnahan Bhuta Kala. Juga pemusnahan segala macam sifat buruk. Sifat buruk dalam diri manusia (Wikipedia, 2024).Â
Pembakaran ini menutup ritual Pengerupukan. Setelahnya umat Hindu memasuki hari Nyepi. Nyepi adalah hari yang sangat hening. Berlangsung selama dua puluh empat jam.Â
Ini waktu tepat untuk introspeksi diri. Juga waktu untuk bisa menenangkan diri. Demi mencari kedamaian batin yang sejati. Diibaratkan seperti seekor kepompong yang indah. Yang akan jadi kupu-kupu cantik (INSTIKI, 2024).