Ogoh-ogoh adalah tradisi identik Nyepi di Bali. Ia bukan sekadar sebuah boneka raksasa. Ia wujud sarat makna dan filosofi.Â
Nama "ogoh-ogoh" dari kata "ogah-ogah". Kata itu berasal dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan (Wikipedia, 2024).Â
Makna ini merujuk pada bentuknya besar. Juga pada gerakannya yang selalu diayunkan. Terutama saat sedang diarak keliling desa.Â
Tradisi ini telah menjadi bagian penting. Bagian tak terpisahkan dari perayaan Nyepi. Khususnya dalam ritual sakral Pengerupukan.
Secara historis, tradisi ini tidak selalu ada. Eksistensinya mulai populer sekitar tahun 1983. Itu setelah Nyepi jadi hari libur. Hari libur nasional lewat Keputusan Presiden. Keputusan Nomor 3 Tahun 1983 (Antara News, 2025).Â
Gubernur Bali saat itu adalah Mantra. Ida Bagus Mantra berperan sangat besar. Beliau mendukung penuh pengembangan ogoh-ogoh. Kemudian ogoh-ogoh mulai sering dilombakan. Lalu terus berkembang hingga sekarang (detik.com, 2024).Â
Tradisi ini menjadi semakin populer.
Proses pembuatannya adalah sebuah ritual sosial. Ritual sosial ini dianggap sangat penting. Sekaa Teruna menjadi pelaku utamanya (Wikipedia, 2024).Â
Itu adalah organisasi pemuda setiap banjar. Mereka bekerja sama dan bahu membahu. Prosesnya memakan waktu selama berbulan-bulan. Dimulai jauh hari sebelum Nyepi (Antara News, 2025).Â
Kerangkanya dibuat dari bahan bambu. Juga dari bahan kayu yang kuat. Badannya bisa dilapisi dengan bubur kertas. Atau juga dilapisi dengan bahan styrofoam. Bisa juga menggunakan bahan kreatif lainnya.Â
Contohnya seperti pemakaian limbah organik. Proses ini tunjukkan semangat gotong royong. Serta kreativitas tak terbatas anak muda (Desa Sangeh Badung).