Sejarah rekrutmen memberikan konteks yang menarik. Kita bisa melihat konteksnya lebih dalam.Â
Di peradaban Mesopotamia kuno, pekerjaan diperoleh. Pekerjaan itu didapat melalui suatu rekomendasi (ID Sejarah). Atau juga berdasarkan kesetiaan pada kerajaan (Media Indonesia, 2022).Â
Kemudian Revolusi Industri memperkenalkan sebuah sistem. Sistem rekrutmennya menjadi jauh lebih terstruktur. Namun, sulit menarik garis lurus langsung. Garis lurus antara praktik kuno tersebut. Dengan fenomena ageisme di era modern.
Diskriminasi telah ada sejak zaman dulu (Tirto.id). Diskriminasi berdasarkan pada gender dan ras. Juga berdasarkan pada kelas sosial masyarakat.Â
Ageisme adalah bentuk diskriminasi yang lain. Diskriminasi ini juga sudah sangat mengakar.Â
Namun pertanyaannya adalah bagaimana praktik ini muncul? Lalu bagaimana praktik ini bisa berkembang? Perkembangannya terjadi secara sangat spesifik. Apakah ageisme sisa dari masa lalu? Ataukah fenomena baru yang dipicu sesuatu?Â
Sesuatu itu adalah perubahan pasar kerja. Penjelasan mendalam tentang asal-usulnya diperlukan. Agar kita bisa memahami masalah ini. Masalah ini harus dipahami secara sepenuhnya.
Survei menunjukkan diskriminasi usia itu nyata. Kenyataan ini dirasakan oleh banyak pekerja.Â
Sebuah survei dari MyPerfectResume melibatkan pekerja. Survei itu melibatkan sekitar 1.000 pekerja. Hasilnya mengungkap sembilan puluh sembilan persen. Mereka merasa ageisme ada di kerja (Tirto.id).Â
Akibatnya banyak pekerja senior menjadi terpaksa. Mereka terpaksa menyembunyikan usia asli mereka. Karena mereka sangat takut kehilangan pekerjaan.Â
Pekerja senior sering mendapat stereotip negatif. Mereka dianggap sulit beradaptasi dengan teknologi. Padahal banyak dari mereka terus belajar. Mereka juga terus mengembangkan keterampilan baru.Â