Pesisir barat Minangkabau menjadi panggung. Itu terjadi pada abad ke-18.Â
Pertarungan sengit tidak melibatkan emas. Pertarungan juga tidak melibatkan lada. Melainkan komoditas sederhana yaitu garam. Garam adalah komoditas yang vital.Â
Pertikaian ini dikenal sebagai Perang Garam. Ini cerminan perebutan kedaulatan ekonomi. Juga cerminan perlawanan gigih masyarakat.Â
Mereka melawan monopoli paksaan VOC. VOC adalah Vereenigde Oostindische Compagnie. Ini adalah kisah kebijakan kolonial. Kebijakan itu memicu api pemberontakan. Pemberontakan tak kunjung padam. Selama puluhan tahun lamanya.
Akar masalahnya telah bermula. Saat VOC memberlakukan monopoli garam. Monopoli itu dilakukan secara sepihak. Di wilayah pesisir barat Minangkabau.Â
Kompeni ingin mengendalikan pasokan. Kompeni ingin meraup untung maksimal. Mereka melarang penduduk memproduksi garam. Penduduk dilarang produksi secara mandiri.Â
Sebagai gantinya VOC mengimpor garam. Garam diimpor dari Madura. Juga diimpor dari India. Lalu mereka memaksa masyarakat membelinya.Â
Dengan harga yang mereka tetapkan. Kebijakan ini menghantam urat nadi. Menghantam ekonomi dan tradisi masyarakat. Masyarakat pesisir mengandalkan produksi garam.Â
Larangan ini memicu gelombang kemarahan. Sebagaimana dicatat oleh dokumen VOC. Dokumen itu dikutip oleh Tirto.id. Kemarahan terjadi di Nagari Pauh. Juga di Tigabelas Kota.Â
Mereka lalu membalas Kompeni. Dengan membakar gudang-gudang garam. Gudang itu milik Kompeni (Tirto.id).
VOC memiliki watak imperialis. Mereka merespons pemberontakan ini. Responsnya dengan kekuatan militer. Pasukan Kompeni pun dikerahkan.Â