Banyak orang suka cerita soal Gunung Tambora. Gunung itu melahirkan sepeda. Kisahnya begini. Tambora meletus dahsyat pada 1815. Iklim dunia menjadi kacau. Gagal panen terjadi di mana-mana. Kuda pun menjadi langka.Â
Lalu seorang bangsawan Jerman datang. Namanya Karl von Drais. Ia menciptakan kendaraan roda dua. Itu terjadi pada 1817. Tujuannya untuk menggantikan kuda. Cerita ini memang sangat dramatis. Tapi cerita ini menyederhanakan fakta.
Kenyataannya ternyata lebih kompleks. Penemuan Drais disebut Laufmaschine. Artinya adalah "mesin jalan". Penemuan itu buah dari semangat zaman.Â
Saat itu puncak Revolusi Industri. Tepatnya di daratan Eropa. Para penemu sedang giat bereksperimen. Mereka mencoba berbagai mesin baru. Mereka juga mencoba teknologi baru (Wikipedia; City of Mannheim).Â
Ide transportasi personal sudah ada. Ide itu muncul sebelum Tambora meletus. Krisis pangan mungkin hanya pemicu. Itu bukan satu-satunya penyebab.Â
Jadi, kisah sepeda bukan dongeng. Bukan dongeng tentang bencana alam. Ia adalah catatan tentang inovasi. Juga tentang kekuasaan. Serta perputaran roda ekonomi. Dampaknya terasa hingga Hindia Belanda.
Simbol Status di Tanah Jajahan
Sepeda pertama kali tiba di Hindia Belanda. Itu terjadi sekitar tahun 1890-an. Ia datang bukan sebagai alat transportasi. Bukan untuk semua orang.Â
Ia hadir sebagai simbol kekuasaan. Harganya luar biasa sangat mahal. Dilaporkan setara satu ons emas murni (Jakartamu.com; Wikipedia Indonesia).Â
Hanya pejabat tinggi kolonial Belanda mampu membelinya. Juga para tuan tanah Eropa. Serta segelintir bangsawan pribumi (priyayi). Merekalah yang mampu memilikinya.Â
Sepeda menjadi penanda status sosial. Sebuah garis pemisah yang jelas. Antara kaum elite berkuasa. Dengan rakyat jelata (Voi.id).
Ironi terbesar kemewahan ini ada pada bannya. Ban-ban itu terbuat dari karet. Karet adalah komoditas yang dieksploitasi. Eksploitasi besar-besaran dari perkebunan. Perkebunan di Hindia Belanda sendiri.Â