Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Di Balik Jatuhnya Intel, Ada Kisah Kegagalan Melihat Tren

15 Juli 2025   21:00 Diperbarui: 10 Juli 2025   13:34 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Intel Xeon. Intel mengumumkan ketersediaan Intel Xeon Generasi ke-4 di Indonesia. (Kompas.com/Bill Clinten)

Bayangkan, sebuah perusahaan sebesar Intel bisa goyah? Apa jadinya jika kesalahan lama terus membayangi, bahkan sejak 2007?

Perusahaan sekelas Intel saja bisa salah langkah fatal, rugi besar, bahkan PHK belasan ribu karyawan. Ini bukti nyata: tidak ada yang abadi. Kita perlu peka terhadap perubahan zaman biar nggak ketinggalan.

Masalah Intel itu gara-gara dua hal utama: gagal baca tren pasar sejak 2007, saat iPhone muncul, dan hilangnya fokus antara jadi pengembang chip atau produsen (Intel Foundry). 

Akibatnya, mereka kalah saing, terutama di era AI sekarang. Padahal, kesempatan untuk bangkit masih ada, jika mereka mau berbenah.

- Peluang Ponsel Terbuang.

Ketika Steve Jobs mengenalkan iPhone 2007, Intel punya kesempatan besar. Mereka hampir jadi pemasok chipnya, namun bukan sekadar masalah hak kekayaan intelektual. 

Melainkan keputusan strategis yang kompleks di mana Intel meremehkan potensi pasar ponsel (The Chip Letter, 2025; AppleInsider, 2015). 

Akhirnya, Apple memilih mengembangkan chip sendiri, dan Intel kehilangan dominasi di pasar mobile yang meledak. 

- Inovasi Chip Mandek.

Aturan main di Intel, setiap dua tahun harus ada chip baru yang lebih canggih (strategi "tick-tock"). Namun, setelah 2015. Mereka macet di teknologi 14nm. Lalu ke 10nm. Padahal targetnya 7nm (The Verge, 2024). 

Strategi "tick-tock" ini bahkan berakhir pada 2016 (AnandTech, 2016). Sementara itu, pesaing seperti AMD sudah pakai teknologi 3nm dari TSMC (Taiwan Semiconductor, 2025). Jelas Intel jauh ketinggalan.

- Gagal Tangkap Peluang AI.

Era Kecerdasan Buatan (AI) sangat bergantung pada kartu grafis (GPU). Nvidia, yang dulunya terkenal dengan kartu grafis game, cepat beradaptasi dan fokus ke GPU untuk AI. Intel telat, chip Gaudi 3 mereka masih kalah jauh dari Nvidia B100 (Reuters, 2025). 

Proyeksi penjualan chip AI Gaudi 3 Intel hanya sekitar US$500 juta, sangat jauh dibanding pendapatan Nvidia dari pusat data yang mencapai lebih dari US$26 miliar (TechInsights, 2024; AI Multiple, 2025).

- Beban Pabrik Sendiri.

Intel punya divisi manufaktur chip, Intel Foundry. Ironisnya, divisi ini justru jadi sumber kerugian terbesar perusahaan (Wall Street Journal, 2025). 

Mereka rugi US$7 miliar di tahun 2023 (Intel, 2024). Ini bikin Intel sulit bersaing efisien dan menjadi beban finansial yang signifikan bagi induknya.

Pelajaran dari Intel itu sederhana: jangan pernah puas dan selalu beradaptasi. Entah itu di pekerjaanmu, di bisnismu, atau di hidupmu. 

Kalau tidak, perubahan akan menghantammu tanpa ampun. Namun, Intel tidak tinggal diam. Dengan bantuan dana dari pemerintah AS. 

Melalui CHIPS Act dan fokus pada teknologi chip 18A. Mereka sedang berjuang untuk bangkit kembali (Morningstar, 2024; Forbes, 2024). Ini menunjukkan bahwa meskipun tantangan besar menghadang. Selalu ada jalan untuk berbenah dan kembali bersaing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun