Benteng Vredeburg tak hanya sebuah bangunan. Benteng ini jadi saksi bisu kekuasaan silih berganti. Dari Belanda, Jepang, hingga bangsa sendiri. Temboknya bisa bercerita. Tentang keserakahan, penderitaan, juga harapan. Cerita tentang kita semua.
Cerita benteng ini adalah soal perebutan kuasa. Dulu Kompeni. Ganti Jepang. Terus bangsa kita sendiri. Yang berkuasa silih berganti. Tapi rakyat kecil seringnya jadi korban.Â
Cerita ini penting biar mata kita terbuka. Biar kita sadar. Siapapun pemimpinnya, kita harus saling jaga. Jangan sampai kita diadu domba lagi. Nasib kita, ya di tangan kita.
Pelajaran paling pahit dari Vredeburg bukan dari zaman Kompeni. Bukan juga dari Jepang. Luka terdalam justru datang saat benteng itu dipakai oleh bangsa sendiri untuk menyiksa bangsanya sendiri.Â
Dulu, ini adalah markas tentara. Tapi setelah peristiwa G30S, tempat ini berubah jadi kamp penyiksaan. Orang-orang yang dituduh PKI ditahan di sini tanpa pengadilan.Â
Mereka disiksa dengan kejam. Kesaksian para penyintas menyebutkan para tahanan hanya diberi makan porsi sangat minim (Wardaya, 2011).Â
Kisah ini jadi bukti. Bahwa kekuasaan, di tangan siapa pun, bisa jadi monster. Sejarah kelam ini sengaja ditutupi puluhan tahun. Kini, wajah barunya seolah bertanya: apakah kita sudah belajar dari luka itu?
Untuk memahaminya, kita perlu melihat lebih dalam.
- Fondasi dari Intrik Politik.
Benteng ini lahir dari politik adu domba. Setelah Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram. VOC butuh markas untuk kontrol. Mereka merayu Sultan Hamengkubuwono I.
Alasannya untuk menjaga keamanan Sultan. Padahal niat aslinya adalah untuk memata-matai (Sulistya, 2020). Sultan tahu itu. Makanya pembangunannya dibuat lambat sekali.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!